TENTANG BUDAYA
LOKAL DI INDONESIA(CLUBBING)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN..
1.1. Latar Belakang.
1.2. Rumusan Masalah.
1.3. Tujuan Penelitian.
1.4. .Pembatasan Masalah.
1.5. Kegunaan Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN..
2.1. Pengertian Clubbing.
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Clubbing.
2.3. Tanggapan Pemerintah Dalam
Menanggapi Clubbing.
BAB III PENUTUP.
3.1. Kesimpulan.
3.2. Saran.
DAFTAR PUSTAKA..
Bab I
Pendahuluan
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang
mempunyai banyak kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan itu merupakan aset negara.
Tetapi di era globalisasi sekarang ini, banyak sekali budaya asing yang masuk
ke Indonesia, salah satunya yaitu budaya clubbing. Clubbing sudah
sangat identik dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak hanya menjadi
bagian dari gaya hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi, bahkan
melakukan lobi bisnis. Dulu clubbing selalu diasosiasikan dengan musik
menghentak yang dapat membuat orang larut dalam suasana. Seiring perkembangan
zaman, clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak semua orang
suka musik semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan lagi
daya tarik utama.
Mayoritas para clubbers
adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang cukup baik.
Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing
yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek,
properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri.
Hal-hal yang telah di uraikan di
atas menurut penulis sangat menarik sehingga penulis akan mengangkat makalah
“Budaya Clubbing di Indonesia” sebagai tugas ujian tengah semester
matakuliah Dasar-Dasar Ilmu Budaya.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan menimbang latar belakang
masalah yang telah penulis kemukakan, maka penulis mengidentifikasikan masalah
sebagai berikut:
- Apa itu clubbing ?
- Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi clubbing ?
- Apa tanggapan pemerintah dalam menanggapi clubbing ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah:
- Mengetahui pengertian clubbing
- Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi clubbing
1.4 Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini penulis hanya
menanggapi budaya clubbing di Indonesia.
1.5 Kegunaan Penelitian
- Memberikan kesempatan kepada penulis untuk merealisasikan pengetahuannya tentang clubbing khususnya di Indonesia.
- Memberikan pemahaman tentang dunia clubbing kepada orang awam yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang itu.
Bab II
Pembahasan
Pembahasan
2.1 Pengertian Clubbing
Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club,
yang berarti pergi ke klub-klub pada akhir pekan untuk mendengarkan musik
(biasanya bukan musik hidup) di akhir pekan untuk melepaskan kepenatan dan
semua beban ritual sehari-hari. Di Indonesia, clubbing sering juga
disebut dugem, dunia gemerlap, karena tidak lepas dari kilatan
lampu disko yang gemerlap dan dentuman music techno yang dimainkan
oleh para DJ handal yang terkadang datang dari luar negeri.
Clubbing tidaklah merupakan hal yang meresahkan sampai kita
mendengar istilah-istilah “tripping 100 jam”,“pump up your sex with
ecstasy”, sampai “get the best your orgasm with ecstasy”. Kita
tidak akan membicarakan para junkie atau pecandu putaw yang nyolong dan
malak karena gak punya duit saat sakaw (karena secara fisik ecstasytidaklah
bersifat adiksi) atau para pelacur jalanan yang terpaksa melacur karena
kebutuhan ekonomi. Yang akan kita bahas adalah para eksekutif yang secara
materi tidak pernah kekurang tapi selalu menghabiskan akhir pekan mulai dari
jumat malam sampai senin pagi di lantai diskotik, juga para wanita mulai dari
ibu-ibu sampai anak sekolah yang asyik gedek-gedek dan dengan santainya
melakukan one night stand (aktifitas seks sekali pakai dan
terlupakan).
Klub-klub malam menjadi ajang
narkoba, seks bebas dan pelarian sepanjang malam di akhir pekan. Sarang
hedonisme dan pesta seks bercahaya neon (atau bahkan tanpa cahaya sama
sekalil!). Sebuah tempat di mana golongan kaya bergesekan dengan kalangan yang
lebih merakyat. Bagian terselubung dari sebuah kota yang korup dan
terus berhentak, serta memiliki pengaruh yang melampaui
batas-batas Indonesia.
Kultur disko/clubbing lahir
pada akhir dekade 80-an di Eropa. Kemajuan dalam teknologi suara sintetis dan
narkoba melahirkan music techno/house dan budaya ekstasi. Klub-klub
di Ibiza, Italia dan London menjadi surga berdenyut musik
elektronika. Tahun 1988 dijuluki summer of love kedua
di London. Jika dekade 60-an memiliki psychedelic era
dan acid rock, yang memunculkan mariyuana dan LSD
sebagai primadonanya, serta punk rock pada dekade 70-an dengan
heroin sebagai makanan sehari-hari, maka terjadi pergolakan baru dalam kultur
kawula muda pada dekade 80-an. Sebuah scenebaru muncul dengan
fondasi musik elektronik, serta membuat takut para politikus dan ortang tua.
Pesta dansa ilegal merebak dan ekstasi menjadi narkoba pilihan di dunia baru
ini. Scene ini mulai keluar dari bawah tanah pada dekade 90-an.
Seiring dengan bertambahnya popularitas, musik ini juga berevolusi – dari house
ke trance, lalu hardcore, jungle,progressive
dan drum & bass.
Budaya clubbing baru ini
mulai mewabah ke seluruh dunia. Amerika Serikat tampaknya kurang menyambut
musik ini dan tetap setia dengan band rock kuno, grunge, rap, R&B,
serta hip-hop. Namun musik house serasa menemukan rumah
baru di Indonesia. Kecenderungan masyarakat Indonesia ke arah hedonisme
komunal, serta ikatan batin dengan Belanda berkat masa penjajahan (yang
melahirkan hubungan dengan pusat produksi obat terlarang di Amsterdam) menjadi
penyebabnya. Sekitar tahun 1995, muncullah summer of love ala
Batavia. Negara ini dibanjiri oleh pil-pil setan, dan klub-klub yang sebelumnya
lebih kalem dipenuhi oleh orang-orang teler dan kegirangan, yang menikmati
musik baru ini. Semuanya ini terjadi sebelum krismon, di mana Soeharto masih
berkuasa dan Indonesia masih merupakan “Macan Asia”. Tempat klub-klub ini
menghasilkan rupiah yang berlimpah, dan tempat-tempat hiburan yang lebih mewah
dibangun.
Pada suatu ketika, produser musik
dangdut menciptakan musik house Asia versi mereka sendiri, yang
cenderung lebih nge-pop. Musik ini lebih menyerupai musik techno
gadungan yang menyedihkan, namun dapat disimak di banyak klub-klub terkemuka di
Jakarta saat ini. Di sini, para ABG yang kenyang ekstasi bergoyang diiringi
musik anak-anak alahouse dangdut yang bertempo terlalu tinggi. Tapi
musik techno dan trance Eropa yang bermutu masih dapat
ditemukan di berbagai klub di seputar kota.
Selama lima tahun belakangan ini,
Stadium – sebuah istana teler berlantai empat di tengah wilayah Kota –
merupakan diskotek paling angker. Pintunya tak pernah tutup di akhir pekan, dan
musiknya tak pernah berhenti. Narkoba dan wanita-wanita pencinta seks dapat
ditemui begitu masuk, dan suara musik menggenjot tiada henti.
Setelah beberapa jam, suasana lebih menyerupai halusinasi. Setelah jam 4 pagi,
setelah klub-klub lain tutup, semua clubbers berduyun-duyun menuju
Stadium untuk tempat teler terakhir. Masih banyak klub di wilayah Kota, seperti
Sydney 2000, Gudang, 1001, Hailai dan Millenium. Millenium (yang terletak di
atas Plaza Gajah Mada) sangat digandrungi, isinya para pemabuk di bawah umur.
Sayangnya musiknya sangat buruk, yaitu musik anak-anak dengan kecepatan 180
bpm, yang menambah nuansa pedofilia di tempat ini.
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Clubbing
Kaum clubbers secara logis
dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara mentah-mentah
gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para clubbers,
ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul,
funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand
naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan
mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul
“Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri” menjelaskan wujud ekspresi dari
ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah:
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.
Clubbing merupakan salah satu gaya hidup di zaman sekarang yang
merupakan hasil adopsi dari negara-negara barat. Seseorang melakukan clubbing
ada kemungkinan besar karena terinspirasi akan kehidupan para selebritis,
orang-orang terkenal, orang-orang yang bekerja di bidang intertainmen dalam memperoleh
kesenangan. Clubbing dipandang oleh individu sebagai gaya hidup yang
modern. Piliang (2006) menyatakan bahwa individu dalam mengikuti gaya hidup
modern dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern merupakan faktor yang
berasal dari dalam diri individu berhubungan dengan minat dan dorongan
seseorang untuk melakukan kegiatan yang diinginkan sesuai dengan perasaan hati.
Selain itu, faktor intern individu melakukan clubbing dipengaruhi sikap.
Sikap lebih cenderung berhubungan dengan kepribadian individu dalam menentukan
suatu fenomena yang ditemui dalam kehidupannya (Piliang, 2006).Dilanjutkan oleh
Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor
ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor
lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak pada anggota keluarga untuk
mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing merupakan satu pilihan
untuk mencari kesenangan tersebut.
Adapun faktor lingkungan sosial
merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-hari. Individu yang
memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh keadaan
lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada
kemungkinan besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi
gaya hidup clubbing.
2.3 Tanggapan Pemerintah dalam Menanggapi Clubbing
Pada dasarnya pemerintah juga tidak
begitu berperan dalam menangani masalah clubbing, karena sesungguhnya
itu kesadaran dari diri sendiri. Tetapi pemerintah berupa menanggulanginya
dengan cara mengeluarkan RUU pornografi dan pornoaksi.
Selain itu, pemerintah juga
menanggulanginya dengan cara menutup tempat-tempat hiburan malam pada saat
bulan ramadhan agar bulan itu tidak ternoda dengan perbuatan maksiat. Dimulai
dari hal itu, diharapkan agar mulai berkurangnya niat-niat untuk datang
ketempat itu.
Bab III
Penutup
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dalam makalah ini penulis mengambil
kesimpulan dari pembahasan di atas yaitu;
- Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.
- faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda untuk melakukan clubbing adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berasal dari individu berhubungan dengan minat, motivasi, dan sikap (untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor ekstern berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan pergaulan individu).
3.2 Saran
Setiap orang pasti ingin mencoba hal-hal yang baru tetapi kita harus bisa memilih-milih mana yang sesuai dengan kebudayaan kita atau tidak agar kita tidak terjebak dalam pergaulan yang salah.
Setiap orang pasti ingin mencoba hal-hal yang baru tetapi kita harus bisa memilih-milih mana yang sesuai dengan kebudayaan kita atau tidak agar kita tidak terjebak dalam pergaulan yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar: