2012 - skripsi man (dulrohman webs)

Kamis, 13 Desember 2012

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
 DOWNLOAD ARTIKEL INI


klik disini


BAB 1 PENDAHULUAN

Generasi penerus bangsa pada dasarnaya tidakbisa tumbuh dengan
sendirinya, mereka sangat memerlukan lingkungan yang baik yang dengan
sengaja diciptakan sehingga potensi tumbuh kembang mereka sesuai
dengan yang kita harapkan.
Perkembangan globalisasi dunia anak ini membawa dampak yang sangat
besar terhadap pendidikan anak dewasa ini, oleh karena itu masalah
kualitas manusia atau sumber daya manusia tidak terlepas dari peran
serta sekolah, lingkungan masyarakat, orang tua dan kebijakan serta
konsekuensi pemerintah untuk selalu konsisten dalam memperjuangkan
kemajuan dunia pendidikan.
Ditengah era Global yang semakin cepat di tangan siapa nasib bangsa
setelah empat atau lima windu mendatang? Jawabannya pastilah di tangan
para pemuda yang hidup di zaman itu dan anak-anak yang ada pada hari
ini. Korelasi dari jawabannya juga akan memberikan gambaran mengenai
keadaan masa depan bangsa. Kemungkinannya hanya melahirkan dua keadaan
yaitu Indonesia semakin maju dan dihargai di mata dunia atau
sebaliknya malah jatuh ke lubang krisis berkepanjangan.
Akurasi prediksinya cukup melihat bagaimana kondisi anak-anak yang ada
sekarang. Coba bayangkan apa yang terjadi jika anak usia dini hidup
tanpa mendapatkan amunisi kebutuhan pendidikan yang selayaknya?
Padahal publikasi dari sebuah penelitian telah mengungkapkan
kapabilitas tingkat kecerdasan 50% terjadi di usia emas ini. Andaikan
tidak ada perlakukan optimal, potensi kecerdasan anak dikhawatirkan
tidak bisa berkembang secara optimal pula. Lantas bagaimana cara
mengoptimalkannya?
Tanpa perlu membuat temuan baru. Salah satu upaya strategis bagi kita
semua agar kebutuhan pendidikan untuk mereka yang polos ini
terkecukupi adalah dengan memanfaatkan fungsi dan keberadaan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sudah seharusnya program yang telah
menjadi amanat konstitutusi ini mendapat perhatian seluruh elemen
masyarakat. Perhatian bukan hanya pada tataran menjamurkan PAUD namun
juga harus sejalan dengan kualitas pelayanan pendidikan yang
dilaksanakan.
Walau secara matematis harus diakui perkembangan kehadiran PAUD terus
meningkat. Data terakhir dari Depdiknas menunjukkan angka partisipasi
PAUD telah mencapai lebih dari 50%. Meski program ini tergolong baru
akan tetapi terus terjadi peningkatan yang signifikan. Sebagai
perbandingan pada 2004 tercatat dari 28,2 juta anak usia usia
pendidikan dini hanya 28,3 % yang terlayani oleh PAUD formal maupun
non formal dengan beragam jenis satuannya.
Mengapa Harus PAUD?
Program yang memfokuskan pada usia 0-6 tahun ini telah tercatat
sebagai komitmen dunia seperti yang tertuang dalam Deklarasi Dakkar
dan sekaligus menjadi komitmen nasional yang tercantum pada
Undang-Udang Sistem Pendidikan Nasional. Legitimasi yang ada memandang
bahwa anak adalah titik sentral yang fundamental dan strategis. Logika
sederhananya untuk menciptakan sumber daya manusia yang sempurna
haruslah dimulai dari menyempurnakan anaknya.
Selain itu kehadiran PAUD juga merupakan sebuah jawaban dari berbagai
teori mengenai perkembangan anak dan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Salah satu contohnya seperti yang diungkapkan tokoh pendidikan ternama
Inggris, William Stern. Beliau menyatakan lingkungan mempunyai peran
dalam membentuk perkembangan anak baik secara fisologis maupun
psikologis. Selain itu dalam ilmu biologipun juga telah dijelaskan
bahwa sejak dalam kandungan saja sel-sel otak janin sudah mulai
membelah dan berkembang sesuai dengan fungsinya masing-masing. Ketika
lahir bayi telah memiliki 100 miliar sel otak. Bukankah ini akan
menghasilkan potensi yang sungguh luar biasa jika diperlakukan dengan
tepat?

Dengan memperhatikan alasan mengapa kehadiran PAUD itu diperlukan
serta melihat semakin meningkatnya pertumbuhan lembaga PAUD.
Seharusnyalah secara bersama terutama pemerintah tidak hanya sekedar
mengampanyekannya dan memandang pertambahan PAUD itu hanya sebagai
sebuah prestasi. Lebih dari itu, harus ada evaluasi terhadap pelayanan
PAUD yang tersebar terutama di daerah. Minimalisirlah kesenjangan yang
terjadi. Begitu juga dengan pemahaman kita bersama mengenai pendidikan
anak ini.
Setidaknya evaluasi tersebut harus mampu menjawab lima pertanyaan
kunci berikut ini. Pertama, mengenai sejauh manakah kualitas
pendidiknya? PAUD seharusnya memiliki pendidik yang mempunyai
kompetensi pedagogik disamping kompetensi lainnya. Bersentuhan
langsung dengan mereka yang diibaratkan seperti kertas putih ini
menuntut kita untuk senantiasa berhati-hati dalam berkata dan
bertindak. Dengan daya ingat dan sifat imitasi yang masih kuat mereka
akan meniru apa yang dilihat dan didengarnya. Kerjasama perguruan
tinggi dan pemerintah untuk menciptakan pendidik PAUD berkualitas
sangat diperlukan. Kedepan, profesi pendidik di PAUD bukanlah tempat
pelarian kerja bagi mereka yang kebetulan masuk kategori pengangguran
saja. Dengan kata lain meskipun PAUD adalah area bermain dikarenakan
usia anak adalah usia bermain tetapi dalam mengelolanya tidak boleh
main-main.
Kedua, sejauh manakah potensi kecerdasan di optimalkan? PAUD merupakan
tempat yang sangat ilmiah untuk memperhatikan arah kecerdasan anak
sehingga bisa dikembangkan secara efektif. Kecerdasan itu sangat
beragam dan bukan pada aspek intelektual saja. Persepsi keliru ketika
orang tua memasukkan anaknya ke PAUD dengan harapan bisa membaca,
menulis, dan menjadi juara kelas selayaknya anak SD.
Ketiga, agar tidak bermunculan lagi persepi seperti di atas maka
sepantasnya dipetakan sejauh manakah orang tua (masyarakat) memandang
PAUD sebagai lembaga pendidikan? Dengan bayaran yang diberikan, orang
tua tidak bisa memuntahkan segala tingkah laku anaknya menjadi
tanggung jawab pengelola dan pendidik saja. Peran orang tua juga
sangat menentukan. Bahkan para orang tua sudah seharusnya menjadikan
keluarganya sebagai basis pendidikan usia dini itu. Konsep PAUD
berbasis keluarga sudah selayaknya dibudayakan.
Keempat, sejauh manakah PAUD mengakomodir anak-anak yang berlatar
kurang beruntung? Jika kita perhatikan Deklarasi Dakkar dengan seksama
akan jelaslah target utama pada pendidikan usia dini ini. Anak yang
berlatar keluarga ekonomi lemah, hidup di daerah bencana/paska
bencana, dan berbagai konsisi yang tidak menguntungkan seharusnya
diprioritaskan. PAUD tidak hanya lahir untuk memfasilitasi anak yang
berasal dari keluarga mampu saja yang kemudian hanya menumbuhkan
nuansa profit oriented. Apalagi berdasarkan hasil sensus penduduk 2010
yang memberikan informasi mengenai ledakan jumlah penduduk lebih dari
30 juta jiwa. Informasi ini sekaligus mengindikasikan masih banyak
anak-anak yang perlu diselamatkan masa depannya.
Kelima, sejauh manakah perhatian pemerintah terhadap pemerataan,
keberlangsungan dan kualitas PAUD? Pemerintah diharapkan tidak hanya
berhasrat mengejar angka partisipasi PAUD yang ditargetkan mencapai
72% pada 2014 nanti atau target UNESCO yang menetapkan 75% pada tahun
2015. Peran pemerintah (pusat/daerah) sangat diperlukan terutama
mengenai keberadaan dan keberlangsungan PAUD di daerah yang jauh dari
pusat kota.
Terakhir, harus disadari kehadiran PAUD bukan hanya sekedar mengejar
target program pemerintah. Bukan juga sebagai sumber rezeki semata.
PAUD haruslah dijadikan ladang untuk menyemai kualitas pemuda agar
masa depan bangsa lebih baik. Jikalau dulu Bung Karno ingin mengubah
dunia hanya dengan memerlukan 10 orang pemuda. Tentulah pemuda yang
dimaksud adalah pemuda yang berkualitas, bukan pemuda ompong yang
hanya menambah masalah bangsa. Paling tidak sampai saat ini PAUD telah
memberikan jalan untuk menciptakan pemuda berkualitas itu. Jadi kenapa
tidak kita optimalkan jalan yang menciptakan para pemimpin masa depan
itu?








BAB 2 LANDASAN TEORI
Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat
penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang fisik, mental, dan
psikososial, yang berjalan sedemikian cepatnya sehingga keberhasilan
tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan hari depan anak.
Kelainan atau penyimpangan apapun apabila tidak diintervensi secara
dini dengan baik pada saatnya, dan tidak terdeteksi secara nyata
mendapatkan perawatan yang bersifat purna yaitu promotif, preventif,
dan rehabilitatif akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak
selanjutnya (Sunarwati, 2007).

Penyelenggaraan pendidikan pada anak usia dini di negara maju telah
berlangsung lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat
(community based education), akan tetapi gerakan untuk menggalakkan
pendidikan ini di Indonesia baru muncul beberapa tahun terakhir. Hal
ini didasarkan akan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini dalam
menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya (MANIS), serta membangun masa
depan anak-anak dan masyarakat Indonesia seluruhnya (MASIS). Namun
sejauh ini jangkauan pendidikan anak usia dini masih terbatas dari
segi jumlah maupun aksesibilitasnya. Misalnya, penitipan anak dan
kelompok bermain masih terkonsentrasi di kota-kota. Padahal bila
dilihat dari tingkat kebutuhannya akan perlakuan sejak dini, anak-anak
usia dini di pedesaan dan dari keluarga miskin jauh lebih tinggi guna
mengimbangi miskinnya rangsangan intelektual, sosial, dan moral dari
keluarga dan orang tua.
Pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya dalam membangunan
sumber daya manusia sejak dini. Seperti disampaikan Ibu Megawati
(wakil presiden pada saat itu) saat membuka Konferensi Pusat I Masa
Bakti VII Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia. Beliau menegaskan
pentingnya pendidikan anak usia dini dalam konsep pembinaan dan
pengembangan anak dihubungkan pembentukan karakter manusia seutuhnya.
Lebih jauh lagi beliau menyatakan sudah tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa pendidikan bagi anak di usia dini merupakan basis penentu
pembentukan karakter manusia Indonesia di dalam kehidupan berbangsa.
Pernyataan ini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini sangat
penting bagi kelangsungan bangsa, dan perlu menjadi perhatian serius
dari pemerintah. Pendidikan anak usia dini merupakan strategi
pembangunan sumber daya manusia harus dipandang sebagai titik sentral
mengingat pembentukan karakter bangsa dan kehandalan SDM ditentukan
bagaimana penanaman sejak anak usia dini. Pentingnya pendidikan pada
masa ini sehingga sering disebut dengan masa usia emas (the golden
age).
- Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum
jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan
pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah
pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan
kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta
agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Saat ini bidang ilmu pendidikan, psikologi, kedokteran, psikiatri,
berkembang dengan sangat pesat. Keadaan itu telah membuka wawasan baru
terhadap pemahaman mengenai anak dan mengubah cara perawatan dan
pendidikan anak. Setiap anak mempunyai banyak bentuk kecerdasan
(Multiple Intelligences) yang menurut Howard Gardner terdapat delapan
domain kecerdasan atau intelegensi yang dimiliki semua orang, termasuk
anak. Kedelapan domain itu yaitu inteligensi music, kinestetik tubuh,
logika matematik, linguistik (verbal), spasial, naturalis,
interpersonal dan intrapersonal.
Multiple Intelligences ini perlu digali dan ditumbuh kembangkan dengan
cara memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan secara optimal
potensi-potensi yang dimiliki atas upayanya sendiri (Tientje, 2000).
- Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini dalam Membangun Masa Depan Bangsa
Kondisi SDM Indonesia berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh
PERC (Political and Economic Risk Consultancy) pada bulan Maret 2002
menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-12,
terbawah di kawasan ASEAN yaitu setingkat di bawah Vietnam. Rendahnya
kualtias hasil pendidikan ini berdampak terhadap rendahnya kualtias
sumber daya manusia Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini tentunya sulit bagi bangsa Indonesia untuk
mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Pembangunan sumber daya
manusia yang dilaksanakan di Negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Jerman, Jepang dan sebagainya, dimulai dengan pengembangan
anak usia dini yang mencakup perawatan, pengasuhan dan pendidikan
sebagai program utuh dan dilaksanakan secara terpadu. Pemahaman
pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai langkah dasar bagi
pengembangan sumber daya manusia juga telah dilakukan oleh
bangsa-bangsa ASEAN lainnya seperti Thailand, Singapura, termasuk
negara industry Korea Selatan. Bahkan pelayanan pendidikan anak usia
dini di Singapura tergolong paling maju apabila dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya.
Di Indonesia pelaksanaan PAUD masih terkesan ekslusif dan baru
menjangkau sebagian kecil masyarakat. Meskipun berbagai program
perawatan dan pendidikan bagi anak usia dini usia (0-6 tahun) telah
dilaksanakan di Indonesia sejak lama, namun hingga tahun 2000
menunjukkan anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan perawatan dan
pendidikan masih rendah. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa dari
sekitar 26,2 jut anak usia 0-6 tahun yang telah memperoleh layanan
pendidikan dini melalui berbagai program baru sekitar 4,5 juta anak
(17%). Kontribusi tertinggi melalui Bina Keluarga Balita (9,5%), Taman
Kanak-kanak (6,1%), Raudhatul Atfal (1,5%). Sedangkan melalui
penitipan anak dan kelompok bermain kontribusinya masing-masing sangat
kecil yaitu sekitar 1% dan 0,24%.
Masih rendahnya layanan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini
saat ini antara lain disebabkan masih terbatasnya jumla lembaga yang
memberikan layanan pendidikan dini jika dibanding dengan jumlah anak
usia 0-6 tahun yang seharusnya memperoleh layanan tersebut. Berbagai
program yang ada baik langsung (melalui Bina Keluarga Balita dan
Posyandu) yang telah ditempuh selama ini ternyata belum memberikan
layanan secara utuh, belum bersinergi dan belum terintegrasi
pelayanannya antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi. Padahal
ketiga aspek tersebut sangat menentukan tingkat intelektualitas,
kecerdasan dan tumbuh kembang anak.
Pentingnya pendidikan anak usia dini telah menjadi perhatian dunia
internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di
Dakar Senegal menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi
pendidikan untuk semua dan salah satu butirnya adalah memperluas dan
memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini,
terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung,
Indonesia sebagai salah satu anggota forum tersebut terikat untuk
melaksanakan komitmen ini.
Perhatian dunia internasional terhadap urgensi pendidikan anak usia
dini diperkuat oleh berbagai penelitian terbaru tentang otak. Pada
saat bayi dilahirkan ia sudah dibekali Tuhan dengan struktur otak yang
lengkap, namun baru mencapai kematangannya setelah di luar kandungan.
Bayi yang baru lahir memiliki lebih dari 100 milyar neuron dan sekitar
satu trilyun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap
(cabang-cabang neuron) yang akan membentuk bertrilyun-trilyun
sambungan antar neuron yang jumlahnya melebihi kebutuhan. Synap ini
akan bekerja sampai usia 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan
tersebut mempengaruhi pembentukan kemampuan otak sepanjang hidupnya.
Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang
didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman
yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini akan memiliki potensi
yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika,
keterampilan berpikir, dan pembentukan stabilitas emosional.
Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia dini,
yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong
percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena
tingginya produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan
pemerataan dalam kehidupan masyarakat, (4) menolong para orang tua dan
anak-anak.
Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan
pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi
untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini
sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan
tidak terbatas pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga
pendidikan. Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung
dimana saja dan kapan saja seperti halnya interaksi manusia yang
terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari hubungan
kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia
dini.
- Perkembangan Anak Usia Dini
Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa memberikan pendidikan anak
usia dini cukup dilakukan oleh orang dewasa yang tidak memerlukan
pengetahuan tentang PAUD. Selain itu juga mereka menganggap PAUD tidak
memerlukan profesionalisme. Pandangn tersebut adalah keliru.
Jika PAUD ingin dilakukan di rumah oleh ibu-ibu sendiri, maka ibu-ibu
itu perlu belajar dan menambah pengetahuan tentang proses pembelajaran
anak, misalnya dengan membaca buku, mengikuti ceramah atau seminar
tentang PAUD.
Kenyataannya semakin banyak ibu-ibu bekerja di luar rumah, oleh karena
itu haruslah orang yang menggantikan peran ibu tersebut memahami
proses tumbuh kembang anak.
Pembelajaran pada anak usia dini adalah proses pembelajaran yang
dilakukan melalui bermain. Ada lima karakteristik bermain yang
esensial dalam hubungan dengan PAUD (Hughes, 1999), yaitu:
meningkatkan motivasi, pilihan bebas (sendiri tanpa paksaan), non
linier, menyenangkan dan pelaku terlibat secara aktif.
Bila salah satu kriteria bermain tidak terpenuhi misalnya guru
mendominasi kelas dengan membuatkan contoh dan diberikan kepada anak
maka proses belajar mengajar bukan lagi melalui bermain. Proses
belajar mengajar seperti itu membuat guru tidak sensitif terhadap
tingkat kesulitan yang dialami masing-masing anak.
Ketidaksensitifan orangtua terhadap kesulitan anak bisa juga terjadi,
alasan utama yang dikemukakan biasanya karena kurangnya waktu karena
orangtua bekerja di luar rumah.
Memahami perkembangan anak dapat dilakukan melalui interaksi dan
interdependensi antara orangtua dan guru yang terus dilakukan agar
penggalian potensi kecerdasan anak dapat optimal. Interaksi dilakukan
dengan cara guru dan orangtua memahami perkembangan anak dan kemampuan
dasar minimal yang perlu dimiliki anak, yaitu musikal, kinestetik
tubuh, logika matematika, linguistik, spasial, interpersonal dan
intrapersonal, karena pada umumnya semua orang punya tujuh intelegensi
itu, tentu bervariasi tingkat skalanya.
- Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Anak adalah perwujudan cinta kasih orang dewasa yang siap atau tidak
untuk menjadi orang tua. Memiliki anak, siap atau tidak, mengubah
banyak hal dalam kehidupan, dan pada akhirnya mau atau tidak kita
dituntut untuk siap menjadi orang tua yang harus dapat mempersiapkan
anak-anak kita agar dapat menjalankan kehidupan masa depan mereka
dengan baik.
Mengenal, mengetahui, memahami dunia anak memang bukan sesuatu yang
mudah. Dunia yang penuh warna-warni, dunia yang segalanya indah,
mudah, ceria, penuh cinta, penuh keajaiban dan penuh kejutan. Dunia
yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak anak namun dalam
kepemilikanya banyak bergantung pada peranan orang tua.
Para ahli sependapat bahwa peranan orang tua begitu besar dalam
membantu anak-anak agar siap memasuki gerbang kehidupan mereka. Ini
berarti bahwa jika berbicara tentang gerbang kehidupan mereka, maka
akan membicarakan prospek kehidupan mereka 20-25 tahun mendatang. Pada
tahun itulah mereka memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Masuk ke
dalam kemandirian penuh, masuk ke dalam dunia mereka yang independen
yang sudah seharusnya terlepas penuh dari orang tua dimana
keputusan-keputusan hidup mereka sudah harus dapat dilakukan sendiri.
Disinilah peranan orang tua sudah sangat berkurang dan sebagai orang
tua, pada saat itu kita hanya dapat melihat buah hasil didikan kita
sekarang, tanpa dapat melakukan perubahan apapun.
Mengapa orang tua perlu meningkatkan intelektualitas anak demi
mempersiapkan mereka masuk sekolah? Jawabannya, sekolah saat ini
meminta persyaratan yang cukup tinggi dari kualitas seorang siswa.
Masih didapat siswa yang masuk SD sudah diperkenalkan dengan berbagai
macam pelajaran dan ilmu sejak dini. Anak-anak sudah harus memiliki
kreativitas yang tinggi sejak kecil. Oleh sebab itu, anak-anak yang
memiliki intelektualitas yang tinggi akan lebih mudah menerima dengan
baik semua yang diajarkan. Mereka akan memiliki kepercayaan diri yang
tinggi, lebih mudah beradaptasi, lebih mudah menerima hal-hal yang
baru, atau intelektualitas anak bisa dikembangkan jauh sebelum mereka
masuk ke sekolah. Kondisi seperti itulah yang menempatkan orang tua
sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya dalam program
pendidikan informal yang terjadi di lingkungan keluarga.
- Permasalahan Pendidikan Anak Usia Dini
Memasuki abad XXI dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga
tantangan besar. Pertama, sebagai akibat dari multi krisis yang
menimpa Indonesia sejak tahun 1997, dunia pendidikan dituntut untuk
dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah
dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan
dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas,
sehingga mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan
dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan
penyesuaian system pendidikan nasional, sehingga dapat mewujudkan
proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman
potensi, kebutuhan daerah, peserta didik, dan mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat.
Permasalahannya adalah ketidaksiapan bangsa Indonesia menghadapi
ketiga tantangan di atas, disebabkan rendahnya mutu sumber daya
manusianya. Untuk menghadapi tantangan itu, diperlukan upaya serius
melalui pendidikan sejak dini yang mampu meletakkan dasar-dasar
pemberdayaan manusia agar memiliki kesadaran akan potensi diri dan
dapat mengembangkannya bagi kebutuhan diri, masyarakat dan bangsa
sehingga dapat membentuk masyarakat madani. Pendidikan anak usia dini
merupakan hal paling mendasar yang dilakukan sedini mungkin dan
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Menyeluruh, artinya
layanan yang diberikan kepada anak mencakup layanan pendidikan,
kesehatan dan gizi. Terpadu mengandung arti layanan tidak saja
diberikan pada anak usia dini, tetapi juga kepada keluarga dan
masyarakat sebagai satu kesatuan layanan.



















BAB 3 PEMBAHASAN
Pendidikan bagi anak dini usia (PAUD) tak hanya sekedar memberikan
berbagai pengalaman belajar seperti pendidikan pada orang dewasa. Tapi
juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasannya.
Pendidikan di sini hendaknya diartikan secara luas, mencakup seluruh
proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses
pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya, pendidikan dapat
berlangsung di mana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri
di lingkungan keluarga, maupun oleh lembaga pendidikan di luar
lingkungan keluarga.
Pembelajaran harus dilakukan secara menyenangkan. Dengan bermain, anak
akan memperoleh kesenangan, hingga memungkinkannya untuk belajar tanpa
tekanan. Sehingga, di samping motorik, kecerdasan anak (kognitif,
sosial-emosional, spiritual dan kecerdasan lainnya) pun akan
berkembang optimal. Lebih penting lagi, kejenuhan belajar, akan
berdampak pada semakin menurunnya prestasi anak di kelas.
Pembelajaran yang menyenangkan, merupakan pembelajaran yang berpusat
pada anak. Di mana anak mendapatkan pengalaman nyata yang bermakna
bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya, melalui pendidikan anak
dini usia yang pembelajarannya dilakukan secara menyenangkan, akan
lahir manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai
tantangan.
Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak
dini usia di samping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature), juga
sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psikososial yang
diperolehnya dari lingkungan. Karena faktor bawaan harus kita terima
apa adanya, maka faktor lingkunganlah yang harus direkayasa. Dan kita
harus mengupayakannya semaksimal mungkin, agar kekurangan yang
dipengaruhi oleh faktor bawaan dapat diperbaiki. Dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan usia dini ada factor yang harus
diperhatikan antara lain :
- Meningkatkan Kualitas SDM
Secara konseptual, pembangunan kualitas sumberdaya manusia, harus
mencakup semua dimensi, baik fisik maupun non-fisik secara totalitas.
Segenap potensi jasmani dan rohani manusia, bisa berkembang secara
sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan berbagai kegiatan
dalam rangka mencapai tujuan hidup.
Kualitas fisik dicerminkan dengan derajat kesehatan yang prima. Dan
kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual
yang berkaitan dengan penguasan ilmu pengetahuan. Sedangkan Kualitas
kalbu diukur dengan derajat keimanan dan ketakwaan, kejujuran, budi
pekerti, moral dan akhlak.
Kualitas akal dan kalbu secara bersama-sama melahirkan daya dzikir dan
kesadaran diri yang mendalam akan hakikat manusia, sehingga melahirkan
emogensi atau kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang
berkualitas.
Pendekatan holistik menekankan, bahwa kualitas sumberdaya manusia
ditentukan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang
berlangsung dalam keseluruhan siklus hidup. Tahap yang sangat
menentukan adalah masa janin (pre-natal) hingga anak berusia remaja
(sekitar 15 tahun). Sementara tahap yang paling kritis terjadi sejak
anak lahir hingga ia berumur 5 tahun (balita).
Usia dini, atau saat umur balita, adalah tahap yang rentan terhadap
berbagai pengaruh fisik dan non-fisik. Agar anak menjadi manusia yang
berkualitas, di masa-masa itulah berbagai faktor yang menentukan
tumbuh kembangnya anak, baik fisik, psikologis, dan sosial, sangat
penting untuk diperhatikan dan dikendalikan.
Bagi guru kelas satu, dua, tiga tingkat sekolah dasar yang
berpengalaman, tentu sudah tak asing mendapati varian bakat (aptitude)
yang merupakan potensi kemampuan yang dibawa anak sejak lahir
(inherent inner component of ability; Semiawan, C, 1997).
Mengingat banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan bakat,
utamanya lingkungan, maka perhatian para pendidikan terhadap
faktor-faktor di luar diri anak yang akan mempengaruhi pengembangan
intelektualitas dan kreativitas anak, harus diperhatikan. Khususnya
dalam pendidikan anak usia dini.

Kamis, 02 Agustus 2012

Materi Soal Manajemen Pendidikan dan Pembahasannya
DOWNLOAD ARTIKEL (Format Word)




UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
Manajemen Pendidikan
Dosen Pengasuh: Dr. Buyung Suratman, M.Pd.



Oleh:
MUSLIADI
NIM 1008036268

 










PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
Jakarta
2012



Soal
1.      Tujuan dan manfaat manajemen pendidikan diantaranya yaitu terwujudnya suasana belajar dan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan bermakna.
Coba anda jelaskan apa maksud masing-masing kata yang cetak tebal tersebut!
5.    UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 38 ayat 2 mengemukakan azas otonomi sekolah dan guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri, sedangkan isi pasal 39 ayat 1 mengemukakan kewenangan guru dalam melaksanakan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan, ayat 2 mengemukakan wewenang guru dalam merencanakan proses pembelejaran melalui hasil pembelajaran.
Coba anda jelaskan bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia setelah diimplementasikannya UU No.20 tahun 2003 tersebut di atas sampai sekarang!
6.    Prinsip utama supervisi pendidikan diantaranya adalah: (1) bukan mencari kesalahan tetapi mencegah kesalahan, (2) membantu personil sekolah dalam mengatasi permasalahan di sekolah. Coba anda jelaskan apa maksud kalimat pada poin 1 dan 2 tersebut!
7.    Coba anda jelaskan menejemen sekolah yang dikatakan bermutu mulai dari input, proses dan outcome!
8.    Manajemen sekolah diantaranya yaitu manajemen kurikulum,kesiswaan, personalia, keuangan, dan manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah. Coba anda jelaskan masing-masing manajemen tersebut!






[Jawaban Soal Nomor 1]
Tujuan dan manfaat menejemen pendidikan yaitu terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan bermakna dapat disingkat menjadi PEIKEM. Berikut ini saya akan secara PEIKEM sistematis.
A.  Pengertian PEIKEM
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
B. Hak-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM
1)      Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.
2)      Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
3)      Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
4)      Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
5)      Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
6)      Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
7)      Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
8)      Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’
C. Pelaksanaan PAIKEM
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
Pembelajaran
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam.
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
1)      Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
2)      Gambar
3)      Studi kasus
4)      Lingkungan
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan, melalui:
1)      Diskusi
2)      Lebih banyak pertanyaan terbuka
3)      Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
4)      Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.
5)      Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
6)      Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
7)      Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
8)      Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari.
9)      Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
10)  Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
11)  Menilai pembelajaran dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
12)  Guru memantau kerja siswa
13)  Guru memberikan umpan balik, dan lain-lain.
[Jawaban Soal Nomor 5]
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kemudian disingkat SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003 merupakan pedoman dalam menjalankan proses pendidikan di republik ini. Namun, undang-undang tersebut belum dilaksanakan secara maksimal, dan adapun yang sudah diimplementasikan juga belum dilakukan evaluasi secara maksimal. Terbukti masih banyak ditemukan fakta di lapangan yang tidak sejalan dengan undang-undang sisdiknas tersebut.
Dalam memetakan masalah pendidikan, maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya. Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan, berbagai perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait.
a.      Permasalahan Pendidikan Sebagai Suatu Sub-Sistem
Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.


Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Kenyataan yang menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan jasa komoditas adalah data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com)
Kedua, berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandasakan sekulerisme telah menyuburkan paradigma hedonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (shaksiyah) yang utuh berdasarkan pandangan syari’at islam). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 3 yang menunjukan paradigma pendidikan nasional, dalam bab VI menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No.19/2005, RUU Wajib Belajar dan RUU BHP.
Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan belajar siswa setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada tiga mata pelajaran saja (Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan (Senin 12/2/07. www.indonesia.go.id). Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (shaksiyah) yang utuh dalam diri siswa, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompetensi dan kelulusan siswa dalam PP No.19/2005).
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya menjerumuskan para pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran, perpeloncoan), dan berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Psl.2 UU No.20/2003), karena realitas justru memperlihatkan kontradiksinya. Siswa sebagai bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar dapat lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun karena kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekuler, ditambah lagi dengan proses pendidikan dalam satuan pendidikan dalam kerangka sekulerisme juga, maka siklus ini akan semakin mengokohkan kehidupan sekulerisme yang makin meluas.
Ketiga, berlangsungnya kehidupan politik yang oportunistik telah membentuk karakter politikus machiavelis (melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan) di kalangan eksekutif dan legislatif termasuk dalam perumusan kebijakan pendidikan indonesia. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB) Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Selain itu dalam beberapa kebijakan operasional sisdiknas yang dikeluarkan pemerintah ternyata kadangkala didukung pula oleh dana yang jumlahnya tidak sedikit, meskipun dalam implementasinya banyak masyarakat yang menilai sering terjadi salah sasaran bahkan penyimpangan. Sebagai contoh kebijakan Mendiknas, Bambang Sudibyo yang tetap melaksanakan UN pada tahun ajaran 2005/2006 ternyata berkaitan dengan dana yang tersedia untuk program tersebut sangat besar, padahal berbagai aliansi masyarakat telah mengajukan penolakan. Diantaranya, Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
Demikianlah uraian problematika pendidikan nasional yang ditinjau dari eksistensinya sebagai suatu sub-sistem (sistem cabang) ternyata erat kaitannya dengan pengaruh dari sub-sistem yang lain (ekonomi, politik, sosial-budaya, ideologi, dsb). Sistem pendidikan nasional juga merupakan bagian dari penyelenggaraan sistem kehidupan di Indonesia saat ini.
Kekurangan Jumlah Tenaga Guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
Sementara itu Dany Setiawan mengungkapkan bahwa saat ini terdapat masalah kekurangan guru sebanyak 88.500 lebih terutama untuk jenjang pendidikan dasar di Jabar, sementara di sisi lain sebanyak 48.000 guru bantu tengah menanti pengangkatan, dimana persoalan pengangkatan guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merupakan wewenang pusat. Untuk sementara, melalui APBD pemprov jabar telah menganggarkan tenaga guru bantu sementara yang diberikan tunjangan sebesar Rp 1 juta per orang. Namun, jumlahnya yang hanya kurang lebih 1.500 tentu saja masih belum bisa menutupi kekurangan yang mencapai 80 ribu lebih.









[Jawaban Soal Nomor 6]
Supervisi sekolah pada prinsipnya bertujuan untuk memperbaiki kualitas dan mutu sekolah. Ini berarti supervisi adalah sebuah alat untuk mengukur kemampuan kinerja personil yang berada di lingkungan sekolah. Prosesnya melalui pengamatan secara langsung dan kemudian mengevaluasi kekurangan yang ada. Kekurangan yang tersebut bukanlah kesalahan multak, namun dalam rangka perbaikan. Mencari kesalahan sama saja mengintrogasi, lembaga pendidikan seperti sekolah formal tidak dapat disejajarkan dengan sistem sekolah militer yang bersifat introgasi, supervisi di sekolah dilakukan berdasarkan standar kompetensi guru dan karyawan.
Untuk lebih mendalami hakikat supervisi, berikut ini saya akan menjelaskan secara detail apa dan bagaimana seharusnya supervisi dilakukan.
Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini (Suharsimi Arikunto,2004). Kegiatan serupa yang dahulu banyak dilakukan adalah Inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Dalam konteks sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi merupaka bagian dari proses administrasi dan manajemen. Kegiaan supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam mencapai tujuan. Dengan supervisi, akan memberikan inspirasi untuk bersama-sama menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan jumlah lebih banyak, waktu lebih cepat, cara lebih mudah, dan hasil yang lebih baik daripada jika dikerjakan sendiri. Supervisi mempunyai peran mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi bersangkut paut dengan semua upaya penelitian yang tertuju pada semua aspek yang merupakan factor penentu keberhasilan. Dengan mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat diketahui dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas organisasi yang bersangkutan.
Pengertian Supervisi
Secara morfologis Supervisi berasalah dari dua kata bahasa Inggris, yaitu super dan vision. Super berarti diatas dan vision berarti melihat, masih serumpun dengan inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan, dan penilikan, dalam arti kegiatan yang dilakukan oleh atasan –orang yang berposisi diatas, pimpinan-- terhadap hal-hal yang ada dibawahnya. Supervisi juga merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya lebih human, manusiawi. Kegiatan supervise bukan mencari-cari kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinnaan, agar kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki.
 Secara sematik Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar dan belajar pada khususnya.
Good Carter memberi pengertian supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas lainnya, dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulir, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran, dan metode mengajar dan evaluasi pengajaran.
Boardman et. Menyebutkan Supervisi adalah salah satu usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secarr kontinyu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan demikian mereka dapat menstmulir dan membimbing pertumbuan tiap-tiap murid secara kontinyu, serta mampu dan lebih cakap berpartsipasi dlm masyarakat demokrasi modern.
Wilem Mantja (2007) mengatakan bahwa, supervisi diartikan sebagai kegiatan  supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh supervisi, yaitu; perbaikan (guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan
Menurut Kimball Wiles (1967)Konsep supervisi modern dirumuskan sebagai berikut : “Supervision is assistance in the development of a better teaching learning situation”.
Ross L (1980), mendefinisikan bahwa supervisi adalah pelayanan kapada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.
Menurut Purwanto (1987), supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Dari uraian definisi supervisi diatas, maka dapat dipahami para pakar menguraikan defenisi supervisi dari  tinjauan yg berbeda-beda.God Carter melihatnya sebagai usaha memimpin guru-guru dalam jabatan mengajar, Boardman. Melihat supervisi sebagai lebih sanggup berpartisipasi dlm masyarakat modern. Willem Mantja memandang supervisi sebagai kegiatan untuk perbaikan (guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan. Kimball Wiles beranggapan bahwa faktor manusia yg memiliki kecakapan (skill) sangat penting untuk menciptakan suasana belajar mengajar yg lebih baik. Ross L memandang supervise sebagai pelayanan kapada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan. Sedangkan Purwanto (1987) memandangkan sebagai pembinaan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Kegiatan supervisi dahulu banyak dilakukan adalah Inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Supervisi masih serumpun dengan inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan, dan penilikan, dalam arti kegiatan yang dilakukan oleh atasan –orang yang berposisi diatas, pimpinan-- terhadap hal-hal yang ada dibawahnya.
Inspeksi : inspectie (belanda) yang artinya memeriksa  dalam arti melihat untuk mencari kesalahan. Orang yang menginsipeksi disebut inspektur. Inspektur dalam hal ini mengadakan :
1)      Controlling : memeriksa apakah semuanya dijalankan sebagaimana mestinya
2)      Correcting : memeriksa apakah semuanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/digariskan
3)      Judging : mengandili dalam arti memberikan penilaian atau keputusan sepihak
4)      Directing : pengarahan, menentukan ketetapan/garis
5)      Demonstration : memperlihatkan bagaimana mengajar yang baik
Pemeriksaan artinya melihat apa yg terjadi dlm kegiatan sedangkan Pengawasan adalah Melihat apa yg positif & negatif. Adapun Supervisi juga merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya lebih human, manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinnaan, agar kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki. Supervisi dilakukan untuk melihat bagian mana dari kegiatan sekolah yg masih negatif untuk diupayakan menjadi positif, & melihat mana yang sudah positif untuk ditingkatkan menjadi lebih positif lagi dan yang terpenting adalah pembinaannya
Orang yang melakukan supervise disebut supervisor. Dibidang pendidikan disebut supervisor pendidikan. Menurut keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, temasuk kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penelik sekolah, dan para pengawas ditingkatkan kabupaten/kotamadya, serta staf di kantor bidang yang ada di tiap provinsi.
Mulyasa (2006) supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi modern diperlukan supervisor khusus yang lebih independent, dan dapat meningkatkan obyektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas.
Jika supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah, maka ia harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan. Pengawasan dan pengendalian ini merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah terarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya.
Tujuan dan sasaran Supervisi
Tujuan utama supervisi adalah memperbaiki pengajaran (Neagly & Evans, 1980; Oliva, 1984; Hoy & Forsyth, 1986; Wiles dan Bondi, 1986; Glickman, 1990).
Tujuan umum Supervisi adalah memberikan bantuan teknis dan bimbingan kepada guru dan staf agar personil  tersebut mampu meningkatkan kwalitas kinerjanya, dalam melaksanakan tugas dan melaksanakan proses belajar mengajar .
 secara operasional dapat dikemukakan beberapa tujuan konkrit dari supervisi pendidikan yaitu:
A. Meningkatkan mutu kinerja guru
1)   Membantu guru dalam memahami tujuan pendidikan dan apa peran sekolah dalam mencapai tujuan tersebut
2)   Membantu guru dalam melihat secara lebih jelas dalam memahami keadaan dan kebutuhan siswanya.
3)   Membentuk moral kelompok yang kuat dan mempersatukan guru dalam satu tim yang efektif, bekerjasama secara akrab dan bersahabat serta saling menghargai satu dengan lainnya.
4)   Meningkatkan kualitas pembelajaran yang pada akhirnya meningkatkan prestasi belajar siswa.
5)   Meningkatkan kualitas pengajaran guru baik itu dari segi strategi, keahlian dan alat pengajaran.
6)   Menyediakan sebuah sistim yang berupa penggunaan teknologi yang dapat membantu guru dalam pengajaran.
7)   Sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan bagi kepala sekolah untuk reposisi guru.
B. Meningkatkan keefektifan kurikulum sehingga berdaya guna dan terlaksana dengan baik
C. Meningkatkan keefektifan dan keefesiensian sarana dan prasarana yang ada untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga mampu mengoptimalkan keberhasilan siswa
D. Meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah khususnya dalam mendukung terciptanya suasana kerja yang optimal yang selanjutnya siswa dapat mencapai prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan.
E. Meningkatkan kualitas situasi umum sekolah sehingga tercipta situasi yang tenang dan tentram serta kondusif yang akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang menunjukkan keberhasilan lulusan.
Adapun sasaran utama dari pelaksanaan kegiatan supervisi tersebut adalah  peningkatan kemampuan profesional guru (Depdiknas, 1986; 1994 & 1995).
Sasaran Supervisi Ditinjau dari objek yang disupervisi, ada 3 macam bentuk supervisi:
1. Supervisi Akademik
Menitikberatkan pengamatan supervisor pada masalah-masalah akademik, yaitu hal-hal yang berlangsung berada dalam lingkungan kegiatan pembelajaran pada waktu siswa sedang dalam proses mempelajari sesuatu
2. Supervisi Administrasi
Menitikberatkan pengamatan supervisor pada aspek-aspek administrasi yang berfungsi sebagai pendukung dan pelancar terlaksananya pembelajaran.
3. Supervisi Lembaga
Menyebarkan objek pengamatan supervisor pada aspek-aspek yang berada di sekolah. Supervisi ini dimaksudkan untuk meningkatkan nama baik sekolah atau kinerja sekolah secara keseluruhan. Misalnya: Ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah), Perpustakaan dan lain-lain.
Prinsip-prinsip Supervisi
Secara sederhana prinsip-prinsip Supervisi adalah sebagai berikut :
a.    Supervisi hendaknya memberikan rasa aman kepada pihak yang disupervisi.
b.    Supervisi hendaknya bersifat Kontrukstif dan Kreatif
c.    Supervisi hendaknya realistis didasarkan pada keadaan dan kenyataan sebenarnya.
d.   Kegiatan supervisi hendaknya terlaksana dengan sederhana.
e.    Dalam pelaksanaan supervisi hendaknya terjalin hubungan profesional, bukan didasarkan atas hubungan pribadi.
f.     Supervisi hendaknya didasarkan pada kemampuan, kesanggupan, kondisi dan sikap pihak yang disupervisi.
g.    Supervisi harus menolong guru agar senantiasa tumbuh sendiri tidak tergantung pada kepala sekolah
Sedangkan menurut Tahalele dan Indrafachrudi (1975)    prinsip-prinsip supervisi sebagai berikut; (a) supervisi harus dilaksanakan secara demokratis dan kooperatif, (b) supervisi harus kreatif dan konstruktif, (c) supervisi harus ”scientific” dan efektif, (d) supervisi harus dapat memberi perasaan aman pada guru-guru, (e) supervisi harus berdasarkan kenyataan, (f) supervisi harus memberi kesempatan kepada supervisor dan guru-guru untuk mengadakan “self evaluation
Karena prinsip-prinsip supervisi di atas merupakan kaidah-kaidah yang harus dipedomani atau dijadikan landasan di dalam melakukan supervisi, maka hal itu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari para supervisor, baik dalam konteks hubungan supervisor-guru, maupun di dalam proses pelaksanaan supervisi.
Fungsi Supervisi
1.      Fungsi Meningkatkan Mutu PembelajaranRuang lingkupnya sempit, hanya tertuju pada aspek akademik, khususnya yang terjadi di ruang kelas ketika guru sedang memberikan bantuan dan arahan kepada siswa.
2.      Fungsi Memicu Unsur yang Terkait dengan PembelajaranLebih dikenal dengan nama Supervisi Administrasi
3.      Fungsi Membina dan Memimpin
Tipe-tipe Supervisi
a)      Tipe Inspeksi
Tipe seperti ini biasanya terjadi dalam administrasi dan model kepemimpinan yang otokratis, mengutamakan pada upaya mencari kesalahan orang lain, bertindak sebagai “Inspektur” yang bertugas mengawasi pekerjaan guru. Supervisi ini dijalankan terutama untuk mengawasi, meneliti dan mencermati apakah guru dan petugas di sekolah sudah melaksanakan seluruh tugas yang diperintahkan serta ditentukan oleh atasannya.

b)      Tipe Laisses Faire
Tipe ini kebalikan dari tipe sebelumnya. Kalau dalam supervisi inspeksi bawahan diawasi secara ketat dan harus menurut perintah atasan, pada supervisi Laisses Faire para pegawai dibiarkan saja bekerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk yang benar. Misalnya: guru boleh mengajar sebagaimana yang mereka inginkan baik pengembangan materi, pemilihan metode ataupun alat pelajaran.

c)      Tipe Coersive
Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe inspeksi. Sifatnya memaksakan kehendaknya. Apa yang diperkirakannya sebagai sesuatu yang baik, meskipun tidak cocok dengan kondisi atau kemampuan pihak yang disupervisi tetap saja dipaksakan berlakunya. Guru sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bertanya mengapa harus demikian. Supervisi ini mungkin masih bisa diterapkan secara tepat untuk hal-hal yang bersifat awal. Contoh supervisi yang dilakukan kepada guru yang baru mulai mengajar. Dalam keadaan demikian, apabila supervisor tidak bertindak tegas, yang disupervisi mungkin menjadi ragu-ragu dan bahkan kehilangan arah yang pasti.
d)     Tipe Training dan Guidance
Tipe ini diartikan sebagai memberikan latihan dan bimbingan. Hal yang positif dari supervisi ini yaitu guru dan staf tata usaha selalu mendapatkan latihan dan bimbingan dari kepala sekolah. Sedangkan dari sisi negatifnya kurang adanya kepercayaan pada guru dan karyawan bahwa mereka mampu mengembangkan diri tanpa selalu diawasi, dilatih dan dibimbing oleh atasannya.
e)      Tipe Demokratis
Selain kepemimpinan yang bersifat demokratis, tipe ini juga memerlukan kondisi dan situasi yang khusus. Tanggung jawab bukan hanya seorang pemimpin saja yang memegangnya, tetapi didistribusikan atau didelegasikan kepada para anggota atau warga sekolah sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.

Dari penjelasan di atas maka semakin jelaskan bagaimana supervisi itu dilakukan. Dan dengan demikian, supervisi bukanlah alat yang dijadikan oleh supervisor (kepala sekolah) untuk mencari kesalahan guru dan karyawan, melainkan sebuah alat untuk memperbaiki kinerja masing-masing sesuai dengan tugasnya.




Jawaban Soal Nomor 7]
Manajemen sekolah dikatakan bermutu jika manajemen yang diterapkan sudah sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen yang ideal. Manajemen yang dimaksud mencakup semua ruang lingkup manajemen. Keterkaitannya dengan manajemen sekolah, tentu saja kita kembali kepada tujuan dasar dan standar mutu pendidikan di Indonesia.
Tujuan Pendidikan Nasional
Mengembangkan kualitas dasar antara lain (daya pikir, daya qalbu, dan daya fisik). Mengembangkan kualitas instrumental yakni penguasaan ilmu pengetahuan (mono-disiplin, multi-disiplin, antar-disiplin, dan lintas-disiplin), baik ilmu pengetahuan lunak maupun keras dan terapannya yaitu teknologi serta seni, Membangun jati diri bangsa Indonesia, Menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia, Kualitas Manusia, Kualitas Dasar, Kualitas Instrumental, daya pikir, daya qalbu, daya pisik, Kualitas ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Upaya yang Harus Ditempuh Untuk Mencapai Tujuan Pendidikan
Upaya-upaya untuk mencapai tujuan pendidikan ditempuh melalui pendekatan “sistem” (“utuh dan benar”) Sekolah dapat dikategorikan seolah-olah sebagai “sistem” karena memenuhi kriteria sebagai sistem yaitu: (1) utuh dan benar, dan (2) ada tujuan yang ingin dicapai dan ada upaya-upaya untuk mencapainya
Sekolah Sebagai Sistem
Secara visual, sekolah sebagai sistem dapat digambarkan, Jika kita ingin menganalisis, kita mulai dari outcome, output, proses, input, dan berakhir pada konteks. Sebaiknya, jika kita ingin melakukan langkah pemecahan persoalan atau menyiapkan, maka arahnya terbalik, yaitu dimulai dari konteks, input, proses, output, dan berakhir pada outcome (cara berpikir sistem yang runtut), Kualitas dan Inovasi, Efektifitas, Produktifitas, Efisiensi Internal, Efisiensi Eksternal.
Konteks Pendidikan
Berkaitan dengan meningkatnya persaingan dalam bidang pendidikan, terjadi pula perubahan pada perilaku konsumen, dalam hal ini yang dimaksud adalah masyarakat (orangtua dan siswa), maupun dunia usaha. Karena banyaknya pilihan, konsumen kini menjadi semakin banyak tuntutan, baik mengenai kualitas lulusan dan biaya pendidikan maupun fasilitas pendidikan. Bargaining power masyarakat meningkat sedemikian rupa sehingga industri atau dunia pendidikan terpaksa harus melayaninya kalau tidak mau akan tersingkir dari kancah persaingan yang makin berat.
Dalam situasi lingkungan yang penuh dengan dinamika ini, manajemen pendidikan harus dapat menciptakan organisasi yang mampu memberikan pelayanan yang memuaskan kepada dan masyarakat pada umumnya dan objek pendidikan (Siswa dan orangtua) khususnya. Saat yang bersamaan dapat pula bersaing secara efektif dalam konteks lokal, nasional bahkan dalam konteks global. Dengan kata lain dunia pendidikan kini dituntut untuk mengembangkan manajemen strategi dan operasi yang pada dasarnya banyak diterapkan dalam dunia usaha, sebagai langkah antisipatif terhadap kecenderungan baru guna mencapai dan mempertahankan posisi bersaingnya, sehingga nantinya dapat menghasilkan manusia yang memiliki sumber daya manusia berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan zaman, maka konteksnya harus sesuai dengan tuntutan pengembangan diri dan peluang tamatan, dukungan pemerintah dan masyarakat, landasan hukum, tanggap terhadap kemajuan IPTEKS, kebijakan, nilai dan harapan masyarakat, otonomi pendidikan, dan tuntutan globalisasi. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup Input, Proses, Output dan Outcome.

Input Pendidikan
a.    Memiliki Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Mutu yang jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu dinyatakan oleh kepala sekolah dan disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.
b.    Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang peralatan, perlengkapan, bahan) sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia. Secara umum, sekolah harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Hal ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada disekitarnya.
c.    Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompoten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektifitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
d.   Memiliki Harapan Prestasi yang tinggi
Sekolah yang mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada disekolah. Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuaannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
e.    Fokus pada Pelanggan (khususnya Siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari siswa.
f.     Input manajement
Sekolah yang memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolanya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi; tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sitematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai. Dapat di simpulkan bahwa Input Pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses, misalnya ketenagaan, kurikulum, peserta didik, biaya, organisasi, administrasi, peranserta masyarakat, kultur sekolah dan sub komponen, regulasi, sarana dan prasarana.

Proses Pendidikan
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses antara lain :
a.    Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang memiliki efektivitas proses belajar mengajar yang tinggi. Ini ditujukkan oleh sifat proses belajar mengajar yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik, proses belajar mengajar bukan sekadar memorisasi dan recall, penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logis), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). Proses belajar mengajar yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learnig to be)
b.    Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersdia. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimipinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.

c.    Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman tertib melalui (pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim sekolah. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali.
d.   Pegelolaan Tenaga Kependidikan yang efektif
Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menyadari tentang hal ini. Pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Terlebih pada pengembangan tenaga kependidikan, Hal ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan memiliki komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
e.    Sekolah memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen antara lain; (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjsama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
f.     Sekolah memiliki Teamwork yang kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersaman (teamwork) merupakan karateristik yang dituntut, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
g.    Sekolah memiliki Kewenangan (kemandirian)
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h.    Partisipasi yang Tinggi dari Warga dan Masyarakat
Sekolah yang memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa-memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. Untuk itu kepala sekolah tidak berjalan sendiri.
i.      Sekolah memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat kontrol.
j.      Sekolah memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k.    Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan.
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar, untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus merupakan kebiasan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.
l.      Sekolah Responsif dan antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap /responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
m.  Memiliki Komunikasi yang baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
n.    Sekolah memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun mendatang.
o.    Sekolah memiliki Kemampuan Manajemen Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanan dapat ditunjukan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan (tingkat sekolah) proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tinggi dibandingkan dengan proses-proses yang lain.

Output Pendidikan
Output merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai Ujian Semester, Ujian Nasional, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan, dan kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Output Pendidikan sebagai sistem seharusnya menghasilkan output yang dapat dijamin kepastiannya. Output sekolah pada umumnya adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektifitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerjanya. Oleh karena demikian dapat disimpulkan bahwa output sekolah yang diharapkan adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah.
Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic, achivement) dan ouput berupa prestasi non-akademik (non-academic achivement). Output prestasi akademi misanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba mata pelajaran, cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional, induktif, dedukatif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan, kerajinan prestasi oleh raga, kesenian, dan kepramukaan.

Outcome Pendidikan
Hasil jangka panjang: dampak jangka panjang terhadap individu, sosial, sikap, kinerja, semangat, sistem, penghasilan, pengembangan karir, kesempatan pendidikan, kerja, pengembangan dari lulusan untuk berkembang, dan mutu pada umumnya. Manajemen sekolah berada pada seluruh komponen sekolah sebagai sistem, yaitu pada konteks, input, proses, output, outcome, dan dampak karena manajemen berurusan dengan sistem, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian hingga sampai pengontrolan/ pengevaluasian. Kepemimpinan berada pada komponen manusia, baik pendidik dan tenaga kependidikan, maupun pada peserta didik, karena kepemimpinan berurusan dengan banyak orang.








[Jawaban Soal Nomor 8]
Secara struktural kelembagaan manjemen sekolah berada di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini telah diatur pada kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas dalam buku Panduan Manajemen Sekolah, berikut ini akan saya uraikan secara ringkas tentang bidang-bidang kegiatan pendidikan di sekolah, yang mencakup:

1.    Manajemen kurikulum
Manajemen kurikulum merupakan subtansi manajemen yang utama di sekolah. Prinsip dasar manajemen kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh siswa dan mendorong guru untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya. Tahapan manajemen kurikulum di sekolah dilakukan melalui empat tahap : (a) perencanaan; (b) pengorganisasian dan koordinasi; (c) pelaksanaan; dan (d) pengendalian.
Dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Tita Lestari (2006) mengemukakan tentang siklus manajemen kurikulum yang terdiri dari empat tahap :
Tahap perencanaan; meliputi langkah-langkah sebagai : (1) analisis kebutuhan; (2) merumuskan dan menjawab pertanyaan filosofis; (3) menentukan disain kurikulum; dan (4) membuat rencana induk (master plan): pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian.
Tahap pengembangan; meliputi langkah-langkah : (1) perumusan rasional atau dasar pemikiran; (2) perumusan visi, misi, dan tujuan; (3) penentuan struktur dan isi program; (4) pemilihan dan pengorganisasian materi; (5) pengorganisasian kegiatan pembelajaran; (6) pemilihan sumber, alat, dan sarana belajar; dan (7) penentuan cara mengukur hasil belajar.
Tahap implementasi atau pelaksanaan; meliputi langkah-langkah: (1) penyusunan rencana dan program pembelajaran (Silabus, RPP: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran); (2) penjabaran materi (kedalaman dan keluasan); (3) penentuan strategi dan metode pembelajaran; (4) penyediaan sumber, alat, dan sarana pembelajaran; (5) penentuan cara dan alat penilaian proses dan hasil belajar; dan (6) setting lingkungan pembelajaran
Tahap penilaian; terutama dilakukan untuk melihat sejauhmana kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dikembangkan, baik bentuk penilaian formatif maupun sumatif. Penilailain kurikulum dapat mencakup Konteks, input, proses, produk (CIPP) : Penilaian konteks: memfokuskan pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang. Penilaian Input: memfokuskan pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi design dan cost benefit dari rancangan. Penilaian proses memiliki fokus yaitu pada penyediaan informasi untuk pembuatan keputusan dalam melaksanakan program. Penilaian product berfokus pada mengukur pencapaian proses dan pada akhir program (identik dengan evaluasi sumatif)

2.    Manajemen Kesiswaan
Dalam manajemen kesiswaan terdapat empat prinsip dasar, yaitu : (a) siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; (b) kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial ekonomi, minat dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; (c) siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan (d) pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif, dan psikomotor.

3.    Manajemen personalia
Terdapat empat prinsip dasar manajemen personalia yaitu : (a) dalam mengembangkan sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga; (b) sumber daya manusia akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tujuan institusional; (c) kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial sekolah sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah; dan (d) manajemen personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah.
Disamping faktor ketersediaan sumber daya manusia, hal yang amat penting dalam manajamen personalia adalah berkenaan penguasaan kompetensi dari para personil di sekolah. Oleh karena itu, upaya pengembangan kompetensi dari setiap personil sekolah menjadi mutlak diperlukan.

4.    Manajemen keuangan
Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan.
Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat dan sumber-sumber lainnya.

5.    Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah
Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah merupakan tindakan yang dilakukan secara periodik dan terencana untuk merawat fasilitas fisik, seperti gedung, mebeler, dan peralatan sekolah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan pra sarana sekolah.
Dalam manajemen ini perlu dibuat program perawatan preventif di sekolah dengan cara pembentukan tim pelaksana, membuat daftar sarana dan pra saran, menyiapkan jadwal kegiatan perawatan, menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan pada masing-masing bagian dan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan kinerja peralatan sekolah dalam rangka meningkatkan kesadaran merawat sarana dan prasarana sekolah.
Sedangkan untuk pelaksanaannya dilakukan : pengarahan kepada tim pelaksana, mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi tentang program perawatan preventif untuk seluruh warga sekolah, dan membuat program lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas sekolah untuk memotivasi warga sekolah.






Daftar Pustaka

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) RI Nomor 20 tahun 2003
Ali, Mohammad. 2007. Landasan Ilmu Pendidikan, Bandung: Pedagogiana Press.
Hamalik, Oemar. 2006. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar. 2007. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Drake, Susan M. 2007. Creating Standards-Based Integrated Curriculum. California: Corwin Press, Inc.
Soedijarto. 1998. Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dam Upaya Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Sleeter, Christine E. 2005. Un-Standardizing Curriculum, Multicultural Teaching in the Standard-Based Classroom. Teachers College, Columbia University
Ralph W. Tyler. 1949. Basic Priciples of Curriculum and Instructional. Chicago and London: The University of Chicago Press.
W.B. Ragan. 1962. Modern Elementary Curriculum. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc.
http://dewey.petra.ac.id/dgt_res_detail.php?knokat=3923
Siregar, Ali Atas. 2005. Deskripsi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Implementasinya Terhadap kegiatan Belajar mengajar, Jakarta: Inti Media Cipta Nusantara.
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-teori Belajar, Jakarta: P2LPTK.

Berita Viral Terkini