REVITALISASI PERAN PEMBELAJARAN IPS
DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
Oleh Sardiman AM
FISE-UNY
Abstract
The
revitalization of the role of social studies learning is important to be done
as soon as possible, because, so far the implementation of learning has not
been very relevant to the objective and
purpose of social studies learning. Actually, social studies learning play an
important role in character education. Therefore it is necessary to make
improvement and upgrading steps. The curriculum design and competence standard
of graduates should be based on student reality and humanity values, and is not
only emphasized on material mastery. The approach of essentialism has to be changed
by the social reconstruction theory. The learning process is developed as the
cultural transaction process which becomes an unseparated part of student
character development. The learning model is more emphasized on active and
participative learning. Besides, in
order to strenghten the role of social studies leraning in developing character
education, a good environment condition, including the political will from the
government, is needed.
Kata kunci: revitalisasi,
pendidikan karakter, pembelajaran IPS
Pendahuluan
1
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam mengawali kerjanya sebagai kepala
pemerintahan pada Kabinet Indonesia Bersatu II di republik ini, menyatakan
bahwa kita harus menjaga jati diri kita, keindonesiaan kita. Hal yang membedakan bangsa kita dengan
bangsa lain di dunia adalah budaya kita, way
of life kita dan keindonesiaan kita. Ada identitas dan kepribadian yang
membuat bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah. Keindonesiaan
kita tercermin dalam sikap pluralisme atau kebhinekaan, kekeluargaan, kesatuan,
toleransi, sikap moderat, keterbukaan,
dan kemanusiaan. Hal-hal inilah yang harus kita jaga, kita pupuk, kita suburkan
di hati sanubari kita dan di hati anak-anak kita. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Presiden
ingin mengangkat persoalan karakter bangsa dalam dinamika pembangunan nasional. Itulah sebabnya pada tanggal 14 Januari 2010,
dalam sarasehan nasional yang diselenggarakan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional telah dideklarasikan ”Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa” sebagai gerakan nasional.
Mengapa Presiden dan Kementerian
Pendidikan Nasional mengangkat persoalan karakter bangsa? Bukanlah sebuah basa-basi,
tetapi tentu terkait dengan realitas kehidupan masyarakat dan masalah-masalah
sosio-kebangsaan di Indonesia. Misalnya, maraknya kenakalan dan perkelahian antarremaja/pelajar, demo yang
sering berujung dengan bentrokan, bahkan tidak jarang panggung-panggung hiburan
terbuka dihiasi dengan perkelahian dan tindakan anarkhis dari penonton, lalu
lintas di jalanan tidak tertib, lunturnya etika dan budi pekerti, korupsi ada
di mana-mana, pelanggaran HAM yang masih sering terjadi, lemahnya kemandirian
dan jati diri bangsa, yang kesemuanya masih terus menghantui kehidupan
masyarakat dan bangsa kita. Sementara perkembangan
ilmu dan teknologi tidak sepenuhnya berdampak
positif bagi kehidupan, tetapi juga menimbulkan berbagai bentuk kejahatan. Hancurnya Kota Hirosima dan Nagasaki pada
akhir Perang Dunia II, hancurnya World
Trade Center di New York, kejahatan
perang di Afganistan, perang Irak, juga di Palestina pada awal abad ke-21,
adalah bukti konkret dari berbagai tindak kekejaman dan kekerasan antarsesama,
di samping bentuk-bentuk penyelewengan
moral melalui teknologi informasi (TI).
Krisis akhlak dan moral yang sedang terjadi itu mengingatkan kepada sebuah kritik sosial
yang sangat tajam yang dilontarkan seorang pujangga dari Kraton Surakarta,
R.Ng. Ranggawarsita terhadap realitas sosial,
sekitar, 140-an tahun yang lalu melalui
”Serat Kalatida”. Dalam serat ini antara lain dijelaskan adanya istilah ”jaman
edan”. Bahkan menariknya istilah ”jaman
edan” ini semakin populer di kalangan masyarakat pada era modern sekarang ini. Karena
istilah ”jaman edan” ini dipandang sangat cocok dengan perkembangan sekarang
ini, yang ditandai dengan kemerosotan
akhlak, aspek moralitas, dan etika kesantunan, tindak kekerasan, serta lemahnya
jati diri bangsa. Melihat realitas kehidupan yang demikian ini, maka pada saat memasuki kehidupan abad ke-21, terlontar gagasan untuk
menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti di lingkungan sekolah.
Kemerosotan akhlak, moral dan etika
kesantunan, serta jati diri bangsa atau karakter
itu sedikit banyak ada hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih
mengutamakan penguasaan materi ajar. Pendidikan kita belum mampu membangun interaksi yang paradigmatik antara aspek kehambaan dan
kekhalifahan. Akibatnya pendidikan kita menjadi kurang bermakna bagi kehidupan
manusia yang utuh dan asasi.
Berbagai
upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional terus dilakukan. Misal
adanya peningkatan anggaran pendidikan, pembudayaan IT, adanya sekolah
berstandar internasional, dilaksanakannya ujian nasional (sekalipun ada pro dan
kontra), program sertifikasi guru (yang juga belum sepenuhnya memenuhi sasaran
sebagai upaya peningkatan kualitas), juga adanya revisi kurikulum terkait
dengan dikeluarkannya Permen no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, dan Permen
no. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang kemudian dimunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
termasuk sudah barang tentu untuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya,
perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS terutama pada jenjang SMP/MTs belum
begitu memuaskan bila dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pembelajaran IPS. Rumusannya baru,
tetapi esensi substansinya tidak jauh berbeda. Kurikulum itu masih tetap menitikberatkan
pada penguasaan materi. Kritikpun kembali terdengar bahwa pelajaran IPS terlalu
sarat materi, bersifat kognitif dan
hafalan. Karena berorientasi pada materi ajar, maka pembelajaran IPS akan terjebak
pada proses mengumpulkan informasi dan mengakumulasi fakta. Karena bersifat
hafalan, pembelajaran IPS menjadi menjemukan, tidak menarik dan dipandang
sebagai beban bagi peserta didik, apalagi kalau dikaitkan dengan statusnya
sebagai mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Masyarakatpun memandang bahwa pelajaran IPS itu tidak penting,
di samping tidak di-UN-kan, juga tidak banyak manfaatnya dalam kehidupan
keseharian. Pelajaran IPS tidak dapat mendatangkan uang, pelajaran IPS tidak bisa untuk membangun
rumah, tidak bisa untuk membangun jembatan, dan seterusnya. Aliran positivisme
dan paham materialisme yang berkembang telah ikut memperkokoh pandangan
masyarakat itu. Hal-hal yang tidak observable, dan tidak terukur cenderung
diabaikan atau tidak dikembangkan.
Uraian tersebut memberikan petunjuk bahwa
pembelajaran (sebagai realisasi dari penyelenggaraan pendidikan) yang
berorientasi pada materi ajar, menjadi kurang bermakna bagi hidup dan kehidupan
warga belajar. Pembelajaran yang mengutamakan penguasaan materi ajar seperti
yang selama ini terjadi, cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan pengembangan
karakter peserta didik. Pembelajaran yang mengabaikan pengembangan karakter
telah kehilangan ruh dan esensinya sebagai proses pendidikan yang sesungguhnya,
yakni sebuah proses untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
masyarakat agar menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Begitu juga pembelajaran
IPS telah kehilangan ruhnya sebagai proses pendidikan yang dapat memberikan
sumbangsih terhadap pendidikan karakter bangsa yakni untuk membentuk warga negara yang baik, warga negara yang memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan jati dirinya
sebagai bangsa. Terkait dengan permasalahan itu maka pada tulisan singkat ini
akan mencoba membahas topik ”Revitalisasi
Peran Pembelajaran IPS dalam Pembentukan
Karakter Bangsa”
Makna Pembelajaran IPS
Dalam konteks pembahasan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) pada tulisan ini, tidak dapat dilepaskan dari sejarah
munculnya mata pelajaran Social Studies
di Amerika Serikat tahun 1962-an. Berangkat dari pemahaman dan kajian serta
bagaimana peran mata pelajaran Social
Studies itu, di Indonesia kemudian diperkenalkan dan dikembangkan mata
pelajaran IPS. Secara historis istilah IPS ini muncul di Indonesia sejak
diberlakukannya Kurikulum 1975 sebagai pembaharuan Kurikulum 1968 di sekolah. Ilmu
Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran di sekolah yang didesain atas dasar
fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai cabang Ilmu-ilmu sosial
dan humaniora seperti kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi,
antropologi, pendidikan. Oleh karena itu, IPS dapat dikatakan sebagai studi
mengenai perpaduan antara ilmu-ilmu dalam rumpun Ilmu-ilmu sosial dan juga humaniora
untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang dapat berpartisipasi dalam
memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan. Bahan kajiannya menyangkut
peristiwa, seperangkat fakta, konsep dan generalisasi yang berkait dengan
isu-isu aktual, gejala dan masalah-masalah atau realitas sosial serta potensi daerah. Sementara kesepakatan
dalam Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS-IKIP, dan Jurusan IPS FKIS/STKIP di
Yogyakarta tahun 1991 menegaskan bahwa pendidikan IPS merupakan seleksi dan
adaptasi bahan dari disiplin Ilmu-ilmu
sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara
ilmiah-pedagogis dan psikologis untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan.
Selanjutnya dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), dijelaskan bahwa IPS merupakan bahan kajian yang wajib dimuat
dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang antara lain mencakup ilmu
bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya yang dimaksudkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik
terhadap kondisi sosial masyarakat (penjelasan pasal 37). Sementara itu kalau mengacu pada
kajian Social Studies, National
Council for Social Studies (NCSS) dijelaskan bahwa:
"Social studies are the integrated
study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within
the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics,
geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion,
and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics,
and the natural sciences. The primary purpose of social studies is to help
young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for
the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an
interdependent world “ (1994: 3).
Relevan dengan pengertian itu, M. Numan Soemantri (2001: 92) menegaskan
bahwa program pendidikan IPS merupakan perpaduan cabang-cabang Ilmu-ilmu sosial
dan humaniora termasuk di dalamnya agama, filsafat, dan pendidikan. Bahkan IPS juga dapat mengambil aspek-aspek
tertentu dari Ilmu-ilmu kealaman dan teknologi.
Dengan pengertian itu berarti IPS merupakan
pelajaran yang cukup komprehensif untuk menyikapi dan memecahkan
masalah-masalah sosio-kebangsaan di Indonesia, sesuai dengan kadar kemampuan
dan tingkat perkembangan peserta didik. Sebagai mata pelajaran di sekolah, mestinya
IPS lebih bersifat edukatif ketimbang akadamis. Terkait dengan itu maka rumusan
tujuan pembelajaran IPS telah memenuhi aspek-aspek
yang menjadi sasaran dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pembelajaran IPS itu antara lain
sebagai berikut :
1.
mengembangkan
pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan
kewarganegaraan (atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya),
2.
mengembangkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan inkuiri,
pemecahan masalah dan keterampilan sosial,
3.
membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai
kemanusiaan (serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa)
4. memiliki kemampuan berkomunikasi,
berkompetisi dan bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala lokal,
nasional maupun internasional.
Rumusan tujuan pembelajaran IPS tersebut menyangkut
aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Fenton pernah mengatakan bahwa tujuan
pembelajaran IPS itu terdiri atas tiga kluster yakni : (1) pengembangan
keterampilan inkuiri dan berpikir kritis, (2) pengembangan sikap dan nilai, dan
(3) pemahaman pengetahuan ( Azmi, 2006: 7). Dari berbagai rumusan tersebut, maka
secara umum kompetensi dan tujuan pembelajaran IPS adalah mengantarkan,
membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik agar : (1) menjadi warga negara (dan juga warga
dunia) yang baik; (2) mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan penuh
kearifan untuk dapat memahami, menyikapi, dan ikut memecahkan masalah sosial, serta
(3) membangun komitmen terhadap
nilai-nilai kemanusiaan dan menghargai serta ikut mengembangkan nilai-nilai
luhur dan budaya Indonesia.
Apa
kriteria dan siapa yang dikatakan sebagai warga negara dan warga dunia yang
baik, yang mampu berpikir kritis dan
arif terhadap masalah sosial serta memiliki komitmen terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan pengembangan budaya
bangsa itu? Mereka itu adalah warga negara (dan warga dunia) yang: beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME., setia kepada dasar falsafah dan ideologi negara
Pancasila; disiplin mentaati semua peraturan hukum dan norma-norma yang berlaku;
memenuhi kewajibannya sebagai warga negara; menghormati dan dapat bekerja sama
dengan anggota warga negara dan bangsa yang lain; ikut menumbuhkembangkan rasa
persatuan dan kesatuan; demokratis dan bertanggung jawab, memiliki kemandirian,
tenggang rasa, toleransi, dan memahami perasaan semua warga, bangsa, agama dan
kebudayaan; menggunakan hak-haknya secara tepat dan proporsional. Mereka dilatih untuk bersikap arif, santun dan tidak emosional dalam memahami, menyikapi
dan ikut serta dalam memecahkan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Mereka
diharapkan memiliki kepekaan sosial dan rasa empati. Peserta didik dilatih
untuk terampil mengambil keputusan yang membawa kemantapan dan stabilitas sosial
(Sardiman AM, 2006: 6). Pembelajaran IPS juga diharapkan dapat melatih peserta
didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan seperti berkomunikasi,
beradaptasi, bersinergi, bekerja sama, bahkan berkompetisi sesuai dengan adab
dan norma-norma yang ada. Selanjutnya para peserta didik diharapkan menghargai dan merasa bangga terhadap warisan
budaya dan peninggalan sejarah bangsa, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai
budi pekerti luhur, mencontoh
nilai-nilai keteladanan dan kejuangan para pahlawan, para pemuka masyarakat dan
pemimpin bangsa, memiliki kebanggaan nasional dan ikut mempertahankan jati diri
bangsa.
Makna Pendidikan Karakter
Mencermati uraian tentang pengertian dan
tujuan IPS, maka pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
pendidikan karakter. Hal ini terlihat pada rumusan tujuannya, bahwa pendidikan karakter atau pendidikan nilai
juga bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik. Bahkan
secara tegas Gross menyatakan bahwa Values
Education as social studies “to prepare students to be well-fungtioning
citizens in democratic society” (dikutip dari Hamid Darmadi, 2007: 8). Secara konseptual istilah pendidikan nilai ini
sering disamakan dengan pendidikan religius, pendidikan budi pekerti, pendidikan
akhlak mulia, pendidikan moral atau pendidikan karakter itu sendiri (Samsuri,
2009: 1, lih. juga Darmiyati Zuchdi, 2008: 5). Pendidikan karakter, pendidikan
moral, atau pendidikan budi pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan
menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga
bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis dan
bertanggung jawab serta survive dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian
pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemanusiaan. Pendidikan
karakter akan mengantarkan warga belajar dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi
insan-insan yang beradab, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai kehambaan dan kekhalifahan.
Dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah, maka institusi
pendidikan atau sekolah harus menjadi lingkungan yang kondusif. Sekolah harus
menjadi sebuah komunitas dan wahana persaudaraan tempat berkembangnya nilai-nilai
kebaikan atau nilai-nilai utama. Pendidikan
karakter akan senantiasa mengembangkan akhlak mulia dan kebiasaan yang baik
bagi para peserta didik (Kirsten Lewis, 1996: 8). Dalam pengembangan pendidikan
karakter, guru harus juga bekerja sama dengan keluarga atau orang tua/wali
peserta didik. Bahkan menurut Cletus R. Bulach (2002: 80), guru dan orang tua
perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai utama apa yang perlu dibelajarkan
misalnya: respect for self, others, and
property; honesty; self-control/discipline.
Dalam kaitan ini Thomas Lickona (2000: 48) menyebutkan beberapa nilai kebaikan yang perlu
dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar tercipta kehidupan
yang harmonis di dalam keluarga dan masyarakat. Beberapa nilai itu antara lain:
kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling menghargai/menghormati,
kerjasama, tanggung jawab, dan ketekunan. Pendidikan karakter bukan sekedar memiliki
dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas
dasar nilai-nilai kebaikan, sehingga
menjadi pribadi yang mantap dan tahan uji, pribadi-pribadi yang cendekia,
mandiri dan bernurani, tetapi juga bersifat kuratif secara personal maupun
sosial. Dengan demikian pendidikan karakter sebenarnya dapat menjadi salah satu
langkah untuk menyembuhkan penyakit sosial (Doni Koesoema A., 2007: 116).
Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan karakter
adalah proses menyaturasakan sistem nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
budaya Indonesia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan
karakter bangsa merupakan suatu proses pembudayaan dan transformasi
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa (Indonesia) untuk melahirkan insan atau warga negara yang berperadaban tinggi, warga
negara yang berkarakter. Karakter bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas
yang mengandung perekat kultural bagi setiap warga negara. Karakter bangsa
menyangkut perilaku yang mengandung core
values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan
simbol-simbol keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka
Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, Lagu Indonesia Raya (lih. ALPTKI, 2009:
3). Esensi nilai-nilai keindonesiaan ini harus menjadi bagian penting dalam
pengembangan pendidikan karakter bangsa. Namun harus diingat bahwa pendidikan
karakter bangsa tidak hanya berurusan dengan transformasi dan internalisasi core values dan nilai-nilai
keindonesiaan kepada peserta didik, tetapi pendidikan karakter juga merupakan proses usaha bersama untuk menciptakan
lingkungan pendidikan yang kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai kebaikan
baik melalui strategi modeling maupun
reinforcing, sebagai wahana setiap individu dapat
menghayati eksistensi dirinya sebagai insan yang merdeka dan bertanggung jawab,
sebagai makhluk individu, sosial dan ciptaan Tuhan.
Dengan
demikian pendidikan karakter sebenarnya sebagai upaya kembali ke hakikat
pendidikan yang sesungguhnya. Dijelaskan di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Inilah rumusan tujuan pendidikan yang
sesungguhnya, tujuan pendidikan yang utuh dan sejati. Aspek-aspek yang terkandung dalam rumusan tujuan
pendidikan ini, baik yang terkait dengan tujuan eksistensial, kolektif maupun
individual harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai
jalur dan jenjang. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka proses pencapaian tujuan
pendidikan nasional sedang berlangsung dan berada pada jalur yang benar, sesuai
amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Th. 2003.
Namun sayang dalam pelaksanaan pendidikan di
lapangan, rumusan tujuan pendidikan nasional yang begitu komprehensip itu tidak
sepenuhnya dipedomani. Penyelenggaraan
pendidikan kita lebih pragmatis dengan tetap menekankan pada penguasaan materi
ajar. Di lembaga pendidikan formal,
pendidikan lebih banyak sebagai proses pengembangan ranah kognisi, dan membangun
kecerdasan intelektual, sehingga pendidikan
kita lebih bersifat intelektualistik. Pendidikan kita cenderung kurang memperhatikan pengembangan kepribadian.
Pendidikan kita lebih berpegang pada paradigma “belajar untuk mengerjakan soal
ujian dari pada ujian untuk belajar (belajar hidup). Kurikulum yang dipandang
sebagai komponen vital dan strategis dalam keseluruhan sistem pendidikan,
nampaknya belum menjadi instrumen efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional
yang ideal, karena masih kental dengan “content oriented” . Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih akrab dengan paradigma esensialisme (Wayan
Lasmawan, 2009: 1).
Ujian Nasional (UN) yang sebenarnya merupakan program peningkatan kualitas
pendidikan, dalam hal-hal tertentu telah melahirkan budaya nerabas, kurang
sistematis yang dapat membawa dampak
pendangkalan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Begitu juga sertifikasi
guru yang sebenarnya untuk meningkatkan profesionalisme guru dan kualitas
pembelajaran, belum sepenuhnya memenuhi harapan. Bahkan dengan persyaratan
harus memenuhi 24 jam, tidak jarang memunculkan rasa ketidakadilan, keirihatian
dan kefrustasian bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik tetapi tidak dapat memenuhi 24 jam setelah berbagai upaya
yang dilakukan gagal (misalnya guru-guru rumpun IPS). Yang dapat memenuhi 24
jam karena mengajar di berbagai sekolah akhirnya juga gagal meningkatkan
kualitas karena terlalu kecapaian. Adalah sesuatu yang mustahil, kondisi
guru-guru yang demikian itu kemudian dapat mengembangkan kepribadian dan
moralitas peserta didiknya. Belum lagi berbagai kegiatan administrasi sebagai
kegiatan rutin dan jangka pendek, yang menambah beban dan kesibukan para guru.
Pragmatisme dan orientasi materi (dalam arti penghasilan) nampak mulai menandai kehidupan guru,
sementara etika dan karakter keguruan mulai terabaikan. Apalagi yang menyangkut
pendidikan di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, pembelajaran lebih banyak
berifat kognitif dan hafalan. Berbagai inovasi yang dilakukan lebih banyak
terkait dengan instrumen pendukung, dan jarang yang menyentuh
hal-hal yang asasi. Akibatnya proses
pembelajaran untuk membangun karakter peserta didik menjadi terabaikan. Oleh
karena itu, wajar kalau pendidikan karakter menjadi sulit berkembang. Mengapa
demikian?
Harus disadari bahwa realitas pendidikan
seperti dijelaskan di atas, sebenarnya sangat erat kaitannya dengan kebijakan
pembangunan di masa Orde Baru. Setelah memasuki era Orde Baru, terjadilah
berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Orde
Baru mulai menggulirkan paradigma
pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan fisik dan ekonomi. Hal-hal
yang yang tidak berhubungann langsung dengan persoalan ekonomi, materi, dan
uang umumnya tidak menarik, dan tidak marketable.
Masyarakat cenderung berilaku pragmatis dan mengorbankan idealisme sebagai
warga bangsa. Bidang pendidikan yang merupakan kegiatan investasi masa depan yang
tidak secara langsung dapat dinikmati, kurang mendapatkan
porsi sebagaimana mestinya. Aspek-aspek
moral dan karakter yang merupakan unnsur fundamental dari kegiatan pembangunan,
menjadi terabaikan. Oleh karena itu krisis ekonomi dan moneter menjadi berkepanjangan, sehingga berlanjut
menjadi krisis multidimensional yang kemudian bermetamorfosis menjadi krisis
intelektual dan hati nurani atau krisis akhlak dan moral (Soemaro Soedarsono,
2009: 115). Bidang pendidikan yang sebenarnya merupakan aspek fundamental dalam
menangani kulaitas kehidupan manusia, tidak dapat berperan banyak dalam
mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Sebab pendidikan yang merupakan
strategi pembudayaan dan pemanusiaan masa depan tidak ditata untuk itu. Pendidikan kita cenderung berorientasi pada kekinian (memberi kepuasan
sesaat bagi peserta didik, lewat keberhasilan mengerjakan soal ulangan atau
ujian).
Problematika lain, mengapa pendidikan karakter
itu stagnan dan kurang diperhatikan
sekolah, karena menyangkut teknik penilaian. Pendidikan karakter yang terkait
dengan aspek nilai, moral dan kepribadian, sangat sulit untuk diukur. Sebagai
akibat dari kuatnya pengaruh aliran
positivisme, telah membawa kebiasaan bahwa tagihan-tagihan penyelenggaraan
pendidikan lebih bersifat akademik, dapat dikuantifikasikan, selalu observable,
dan dapat diukur secara nyata. Dengan alasan objektivitas, maka dikembangkan
instrumen penilaian (soal-soal tes) yang juga mendekati “kepastian”, misalnya
soal dengan pilihan ganda. Menekankan penilaian pendidikan yang semata-mata
pada kemampuan akademik-intelektualistik telah meredusir keseluruhan proses
pendidikan yang hanya pada satu dimensi, dan sering mengabaikan aspek yang
fundamental dalam kehidupan, yakni pengembangan karakter. Makna pribadi
seseorang bagaikan sekumpulan barang produksi yang dapat dikuantifikasi dan
distandarisasi ( Doni Koesoema A. 2007: 120 dan 277).
Revitalisasi Pembelajaran IPS
Persoalan tersebut perlu mendapatkan
perhatian secara seksama oleh semua pihak yang bertanggung jawab dalam bidang
pendidikan. Pendidikan IPS yang dikatakan sebagai pendidikan nilai harus
dilakukan revitalisasi. Pendidikan tanpa perspektif pendidikan nilai, tanpa menekankan
pada pengembangan karakter peserta didik, akan kehilangan esensinya sebagai proses pendidikan yang sejati. Perlu
pemikiran dan upaya untuk memposisikan esensi serta hakikat pendidikan secara
tepat. Program pendidikan IPS atau mata pelajaran apapun juga harus menempatkan UU Sisdiknas sebagai rujukan normatif
tertinggi bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional secara utuh. Penyelenggaraan pendidikan selama ini
telah kehilangan ruh dan aspek moralitas, sehingga tidak jarang melahirkan
kultur yang tidak sehat. Muncullah perilaku ketidakjujuran dalam pendidikan,
seperti yang terjadi kasus pada UN, ijazah palsu, perjokian, plagiat, lemahnya
internalisasi nilai pendidikan dan terfragmentasinya ranah-ranah pendidikan
yang lebih didominasi ranah kognitif (ALPTKI, 2009: 2)
Proses pembelalajaran IPS
sebagaimana pembelajaran pada umumnya, harus dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus
mengembangkan karakter sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan IPTEKS
pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan saat ini yang lebih didominasi oleh praktek
pendidikan di tingkat individual yang cenderung kognitif-intelektualistik, perlu diarahkan kembali sebagai
wahana pengembangan pendidikan karakter bangsa, sebagai proses pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik
secara utuh sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
Dalam mendeisain kurikulum
pendidikan IPS, termasuk dalam proses pembelajarannya, harus juga berangkat dari hakikat dan karakter peserta didik,
bukan berorientasi pada materi semata. Pendekatan esensialisme sudah saatnya untuk dimodifikasi dengan teori rekonstruksi sosial yang mengacu pada
teori pendidikan interaksional (Nana Syaodih Sukmadinata, 1996: 6). Sesuai dengan tuntutan zaman dan
perkembangan kehidupan masyarakat, pembelajaran IPS harus dikembalikan sesuai
dengan khitah konseptualnya yang bersifat terpadu yang menekankan pada
interdisipliner dan trasdisipliner, dengan pembelajaran yang kontekstual dan
transformatif, aktif dan partisipatif dalam perpektif nilai-nilai sosial
kemasyarakatan. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, pembelajaran IPS harus memfokuskan perannya
pada upaya mengembangkan pendidikan untuk menjamin kelangsungan hidup
masyarakat dan lingkungannya. Pembelajaran IPS diarahkan untuk melahirkan
pelaku-pelaku sosial yang berdimensi personal (misalnya, berbudi luhur,
disiplin, kerja keras, mandiri), dimensi sosiokultural (misalnya, cinta tanah
air, menghargai dan melestarikan karya budaya sendiri, mengembangkan semangat
kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kepedulian terhadap lingkungan), dimensi
spiritual (misalnya, iman dan taqwa, menyadari bahwa alam semesta adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta), dan dimensi intelektual (misalnya, cendekia,
terampil, semangat untuk maju). Terkait dengan ini Wayan Lasmawan
(2009:2-3) menjelaskan adanya tiga kompetensi dalam pembelajaran IPS, yakni
kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi intelektual.
Kompetensi
personal merupakan
kemampuan dasar yang berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian
diri peserta didik sebagai makhluk individu yang merupakan hak dan tanggung
jawab personalnya. Orientasi dasar pembentukan dan pengembangan kompetensi
personal ini ditekankan pada upaya
pengenalan diri dan pembangunan kesadaran diri peserta didik sebagai
pribadi/individu dengan segala potensi, keunikan dan keutuhan pribadinya yang
dinamis. Sejumlah kompetensi yang personal ke-IPS-an yang perlu dikembangkan
misalnya, pembentukan konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap diri
sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri, kemandirian itu sendiri, termasuk bagaimana menumbuhkembangkan budi
pekerti luhur, disiplin dan kerja keras serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan
YME, sehingga perlu menumbuhkembangkan dan memantapkan keimanan dan
ketaqwaannya. Kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang berkaitan dengan
pengembangan kesadaran sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya.
Sejumlah kompetensi dasar yang dikembangkan adalah kesadaran dirinya sebagai
anggota masyarakat sehingga perlu saling menghormati dan mengharagai; pemahaman
dan kesadaran atas kesantunan hidup bermasyarakat dan berbangsa; kemampuan berkomunikasi dan kerja sama antara
sesama; sikap pro-sosial atau altruisme; kemampuan dan kepedulian sosial termasuk
lingkungan; memperkokoh semangat
kebangsaan, pemahaman tentang perbedaan dan kesederajatandalam. Kompetensi intelektual, merupakan
kemampuan berpikir yang didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas
sesuatu yang baik yang bersifat fisik, sosial, psikologis, yang memiliki makna
bagi dirinya maupun orang lain. Kemampuan dasar intelektual ini berkaitan
dengan pengembangan jati diri para peserta didik sebagai mahkluk berpikir yang
daya pikirnya untuk menerima dan memproses serta membangun pengetahuan, nilai
dan sikap, serta tindakannya baik dalam kehidupan personal maupun sosialnya. Kemampuan
mengidentifikasi masalah sosial, merumuskan masalah sosial dan memecahkan
masalah itu sebagai ciri penting dalam kemampuan berpikir.
Ketiga komptensi dengan berbagai nilai yang
terkandung di dalamnya itulah yang yang harus dibangun melalui pembelajaran
IPS, sehingga melahirkan pelaku-pelaku sosial yang mumpuni. Para pelaku sosial itu harus dapat
membangun sikap dan perilaku dengan berbagai dimensinya, memahami hak dan kewajibannya, kemudian memiliki kepekaan untuk memahami,
menyikapi dan ikut berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah
sosio-kebangsaan yang ada. Beberapa masalah sosio-kebangsaan sebagaimana sudah disinggung di muka seperti: berbagai bentuk anarkhisme
dan tindak kekerasan , perilaku amoral dan lunturnya budi pekerti, korupsi,
kolusi dan nepotisme, serta ketidakjujuran, budaya nerabas dan tidak
disiplin, semau gue dan rendahnya kepedulian terhadap lingkungan, sampai pada
merosotnya rasa keindonesiaan. Bahkan Brooks dan Goble menegaskan bahwa berbagai bentuk kejahatan
dan perilaku-perilaku lain yang tidak betanggung jawab itu kini mengalami
peningkatan dan percepatan yang begitu
sangat mengkhawatirkan, bahkan telah merembes ke berbagai relung kehidupan masyarakat,
sehingga melahirkan proses
reproduksi sosial (Lih. Doni Koesoema, 2007: 117). Masyarakat pada posisi
terancam oleh berbagai tindak kekerasan,
vandalisme, kejahatan di jalanan, munculnya geng-geng remaja, kehamilan di luar
nikah, pemerkosaan, kabur dari sekolah,
kehancuran kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hotmat dan kasih sayang. Kalau kita ingin membangun bangsa yang
berkarakter, maka masalah-masalah sosio-kebangsaan itu harus segera
diatasi. Seiring dengan itu harus juga
dilakukan pengkondisian secara tepat dan komprehensip, termasuk menciptakan
lingkungan belajar yang kodusif-edukatif dan sudah barang tentu ada kebijakan
pemerintah yang mendukung program-program pengembangan karakter bangsa tersebut.
Penutup
Demikian sekelumit pembahasan mengenai
tema “Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS dalam Pembentukan Karakter Bangsa”. Kajian
ini berangkat dari realitas kehidupan para pelajar, remaja dan masyarakat pada
umumnya yang ditandai berbagai masalah sosio-kebangsaan sejak dari bentuk
penyimpangan dan penyakit sosial sampai dengan lunturnya eksistensi dan jati
diri sebagai bangsa. Hal ini juga terkait dengan penyelenggaran pendidikan yang
lebih mengutakan penguasaan materi ajar, sehingga pendidikan kita lebih
bersifat intelektualistis. Penyelenggarakan pendidikan yang lebih menekankan
pada penguasaan materi dan bersifat intelektualistik telah mengabaikan aspek
moralitas dan pengembangan karakter peserta didik.
Pembelajaran IPS memiliki peran penting
dalam pembentukan karakter bangsa. Sebab pembelajaran IPS memiliki kesamaan
dengan pendidikan nilai atau pendidikan karakter yang masing-masing bertujuan untuk menjadikan peserta didik sebagai warga negara
yang baik, kemudian juga peduli terhadap
masalah sosial dan lingkungannya, serta memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Sayangnya
pembelajaran IPS sejak tahun 1975 sampai sekarang ini belum dapat memenuhi
maksud dan tujuan yang sesungguhnya. Pembelajaran IPS yang secara konseptual
ideal merupakan studi integratif mengenai kehidupan masyarakat, masih menghadapi problem dalam pelaksanaan
pembelajaran di lapangan. Para pendidik IPS merasa kebingungan dan kadang
kurang bersemangat karena IPS dipandang oleh masyarakat sebagai mata pelajaran
yang tidak penting. Para peserta didikpun menjadi kurang begitu tertarik dengan
mata pelajaran IPS. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pembelajaran IPS
menjadi tidak optimal, sehingga tujuan pembelajaran IPS yang sesungguhnya
sebagai bagian dari proses pembentukan karakter tidak dapat tercapai. Oleh
karena itu perlu dilakukan revitalisasi dengan melakukan berbagai upaya.
Misalnya, perlu dilakukan telaah kurikulum, yang semula pengembangannya
berbasis materi, diubah berbasis kompetensi dan karakter. Mengembangkan proses
pembelajaran yang aktif, partisipatif dan kontekstual. Untuk memantapkan peran pembelajaran IPS dalam
pembentukan karakter bangsa ini perlu juga didukung dengan beberapa hal,
sebagai berikut.
- perlu adanya keteladanan,
2. proses pembelajaran dikembalikan kepada
khitahnya sebagai proses pendidikan,
- dikembangkan model-model pembelajaran
yang aktif – partisipatif, kreatif-inovatif dengan berbagai program
pembiasaan,
- penciptaan lingkungan pendidikan yang
kondusif-edukatif, misalnya dipajang berbagai ketentuan, prosedur,
slogan-slogan yang mampu memberikan motivasi dan semangat dalam hidup dan kehidupan yang
lebih berkarakter,
- perlu penataan berita dan penyiaran di berbagai media massa, baik di media
cetak maupun elektronik,
6. perlu dilakukan kerja sama dengan orang
tua/wali dan masyarakat sekitar, dan
7. adanya political
will dari pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Azmi, 2006.
“Esensi Pendidikan dan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial”, Makalah,
disampaikan pada Seminar Nasional dan Musyawarah Daerah HISPISI, di
Universitas Negeri Padang, 24 April 2006.
ALPTKI,
2009. Pemikiran tentang Pendidikan
Karakter dalam Bingkai Utuh Sistem Pendidikan Nasional, Asosiasi
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Bulach,
Cletus R., 2002. “Implementing a Character Education Curriculum and Assessing
Its Impact on Student Behavior”, ProQuest Education Journal,
Dec.2002., http://www.jstor.org/pss/30189797,
diunduh, 22 April 2010.
Darmiyati
Zuchdi, 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi, Jakarta:
Bumi Aksara.
Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan
Karakter, Jakarta: Grasindo.
Hamid
Darmadi, (2007). Konsep Dasar Pendidikan Moral, Bandung: Alfabeta.
Lewis, Kirsten, 1996.
“Character Education Manifesto”, News, Boston University.
Lickona,
Thomas, 2000. “Talks About Character Education”, wawancara oleh Early Chilhood Today, ProQuest Education Journal, April,
2000, http://webcache.google
usercontent.com., diunduh, 20 April
2010..
Nana
Syaodih Sukmadinata, 1996. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi dalam Era
Globalisasi: Suatu Kajian”, Makalah, disajikan dalam Seminar
tentang Sistem Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Menyongsong Era Global
oleh Pusbangkurandik-Balitbangdikbud. Jakarta: Balitbangdikbud.
NCSS., (1994). Curriculum Standars for the Social Studies.
Washington D.C.: National Council for the Social Studies.
Numan
Somantri, M. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS,
Bandung: Rosda Karya.
Samsuri, 2009. “Mengapa Perlu Pendidikan Karakter”, Makalah, disajikan pada workshop tentang Pendidikan Karakter
oleh FISE UNY. Yogyakarta.
Sardiman AM.,
(2006). ” Pengembangan Kurikulum Pendidikan IPS di Indonesia: Sebuah
Alternatif”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Internasional
HISPISI dengan tema: Komparasi
Pendidikan IPS Antarbangsa, di Semarang,
7-8 Januari 2006.
Soemarno
Soedarsono, 2009. Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab Menuju Terang. Jakarta:
Kompas Gramedia.
Wayan Lasmawan,
2009. ”Merekonstruksi Ke-IPS-an Berdasarkan Paradigma Teknohumanistik”, Makalah,
disajikan pada Seminar tentang Pendidikan IPS oleh FIS Undiksa, 30 0ktober,
2009.
Tidak ada komentar: