MAKALAH PENDIDIKAN
AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
MEMAHAMI MANHAJ SALAFUS SHOLIH
Oleh :
Ayip Muksin , S.Th.I
TAMBUN SELATAN - BEKASI
2012
AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
(Disarikan Oleh : M. Mumtaz. I.M, S.Th.I)
Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berjalan di atas manhaj salafush shalih mereka berjalan di atas prinsip-prinsip agama yang kokoh dan jelas baik dalam masalah aqidah, amal maupun akhlak. Prinsip-prinsip ini diambil dari kitabullah Ta'ala dan semua yang shahih dan sunnah Rasul-Nya baik yang mutawatir maupun yang ahaad dan dengan pemahaman salaful ummah dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Prinsip-prinsip agama Islam sudah di jelaskan oleh Nabi saw dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengada-adakan sesuatu yang baru dalam prinsip-prinsip agama ini lalu berprasangka bahwa apa yang diada-adakannya merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ahlus sunnah wal jamaah senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama ini, menjauhi lafazh-lafazh yang bid'ah dan konsisten dengan lafazh-lafazh yang syar'i. Dari sinilah, ahlus sunnah wal jamaah merupakan manifestasi lanjutan yang sebenarnya berasal dari generasi salafuhs shalih.
Prinsip-prinsip agama Islam menurut ahlus sunnah wal jama'ah secara global sebagai berikut :
Prinsip Pertama: Iman Dan Rukunnya
Aqidah salafush shalih -ahlus sunnah wal jamaah dalam prinsip-prinsip keimanan terangkum dalam iman dan tashdiq(pembenaran) terhadap rukun iman yang enam sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, tatkala datang untuk menanyakan tentang iman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, "Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan (hendaknya) pula engkau beriman dengan qadar baik maupun buruk." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitaabul Imaan). (HR. Muslim no. 8, Ahmad (VIII/27,51-52), Abu Dawud no. 4695, at-Tirmidzi no. 2610, an-Nasa-i (VIII/97) dan Ibnu Majah no. 63 serta yang lainnya.
Keimanan bersendikan pada keenam rukun ini. Jika salah satu rukun jatuh, maka seseorang tidak dapat menjadi mukmin sama sekali, karena ia telah kehilangan salah satu dari rukun iman. Jadi keimanan itu tidak akan berdiri kecuali di atas rukunnya yang sempurna, sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tegak kecuali di atas pilar-pilarnya yang sempurna pula. Enam perkara ini disebut "Rukun Iman". Maka tidaklah sempurna iman seseorang kecuali dengan mengimani semua rukun diatas dengan cara yang benar sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al-Quran dan As-Sunnah. Barangsiapa mengingkari salah satu darinya, maka ia bukanlah seorang mukmin.
Rukun Pertama:
Iman Kepada Allah
Beriman kepada Allah Ta'ala membenarkan secara pasti tentang keberadaan (wujud) Allah, semua kesempurnaan dan keagungan yang dimiliki-Nya, hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadahi, hati diiringi dengan kemantapan akan hal itu yang tercemin dari perilakunya, konsekuen dengan perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Iman kepada Allah adalah prinsip dan dasar dari ‘Aqidah Islam. Semua rukun ‘aqidah, bersumber darinya dan mengikutinya.
Maka beriman kepada Allah mengandung arti beriman dan ke-Esaan-Nya dan Dia-lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi, karena keberadan-Nya tidak diragukan lagi. Keberadaan Allah telah terbukti baik secara fithrah, akal, syari'at maupun indera.
Termasuk beriman kepada Allah Ta'ala ialah beriman kepada ke-Esaan-Nya, Uluhiyah-Nya dan Asma' dan Sifat-Nya. Yaitu dengan menetapkan tiga macam tauhid, myakininya dan mengamalkannya :
1) Tauhid Rububiyah
2) Tauhid Uluhiyah
3) Tauhid Asma'wa Sifat
Berikut keterangan ringkas dari ketiga hal diatas :
1. Tauhid Rububiyah :
Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa hanya Allah semata Rabb dan Pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia-lah Yang Mahapencipta, Dia-lah yang mengatur alam dan yang menjalankannya. Dia-lah yang menciptakan para hamba, yang memberi rizki kepada mereka, menghidupkan dan mematikannya. Dan beriman kepada qada' dan qadar-Nya serta ke-Esaan-Nya dalam Dzat-Nya. Ringkasnya bahwa tauhid Rububiyah Allah Ta'ala dalam segala perbuatan-Nya:
Dalam dalil syar'i telah menegaskan tentang wajibnya beriman kepada Rububiyyah Allah Ta'ala seperti dalam firman-Nya:
"Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam" (Al-Fatihah:2)
"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam." (Al-A'raaf : 54)
"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu...."(Al-Baqarah :29).
"Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (Adz-Dzariyaat: 58).
Macam tauhid ini tidak diperselisihkan oleh orang-orang kafir Quraisy dan para penganut aliran dan agama. Maksudnya mereka semua beri'tiqad bahwa Pencipta alam semesta ini hanyalah Allah semata. Allah SWT berfirman tentang mereka, "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah."(Luqman: 25)
Dan firman-Nya, "Katakanlah, "Kepunyaannya siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah.‘ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?' Katakanlah, Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab : ‘Kepunyaan Allah.' Katakanlah Allah.' Katakanlah: (Kalau demikian), maka dari jalan mankah kamu ditipu ?' Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (Al Mukmin: 84-90).
Yang demikian itu, karena hati manusia secara fitrah mengakui Rububiyyah-Nya oleh karena itu, seseorang tidak menjadi orang yang bertauhid sehingga ia mengakui dan konsisten dengan macam kedua dari ketiga macam tauihid tersebut, yaitu:
2. Tauhid Uluhiyah :
Yaitu mengesahkan Allah Ta'ala melalui perbuatan para hamba, dinamakan juga dengan tauhid ibadah. Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Ilah(sesembahan) yang haq dan tidak ada ilah selain-Nya, segala yang diibadahi selain-Nya adalah bathil, hanya Dia-lah yang patut diibadahi, baginya ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Tidak boleh siapapun dijadikan sebagai sekutu-Nya dan tidak boleh bentuk ibadah apapun diperuntukannya kepada selain-Nya, seperi shalat, puasa, zakat, haji,do'a, dan isti'anah (meminta pertolongan), nadzar, menyembelih, tawakal, khauf (takut), harap, cinta dan lain-lain dari macam-macam ibadah yang zahir (tampak) maupun bathin. Ibadah kepada Allah harus dilandasi dengan rasa cinta, cemas, dan harap secara bersamaan. Beribadah kepada-Nya dengan sebagian saja dan meninggalkan sebagian lainnya adalah kesesatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
"Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan." (Al-Faatihah: 5).
"Dan barangsiapa beribadah kepada ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya disisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu adalah beruntung." (AlMukminun: 117).
Tauhid Uluhiyyah adalah inti dakwah yang diserukan oleh para Rasul. Dan pengingkaran terhadap hal itu merupakan penyebab dari berbagai malapetaka yang menimpa ummat-ummat terdahulu.
Tauhid Uluhiyyah merupakan awal dan akhir agama, bathin dan lahirnya. Juga merupakan tema pertama dakwa para Rasul dan yang terakhir. Oleh karenanya diutuslah para Rasul, diturunkannya kitab-kitab samawi, disyari'atkan jihad, dibedakan antara orang muslim dengan orang kafir, dan penghuni surga dengan penghuni neraka.
Itulah makna firman Allah, "...Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah..." (Ash-Shaafffat: 35).
Allah Ta'ala berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadah kamu hanya kepada-Ku." (Al-Anbiyaa': 25)
Yang menjadi Rabb Yang Maha Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Menguasai, Yang Mengatur, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan, yang suci dari segala kekurangan, segala sesuatu (berada) di tangan-Nya maka pasti Dia adalah Rabb Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak boleh ibadah itu dipalingkan kecuali kepada-Nya semata. Allah Ta'ala berfirman, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyaat: 56).
Tauhid Uluhiyyah merupakan konsekuensi dari tauhid Rububiyyah. Hal tersebut karena orang-orang musyrik tidak menyembah Rabb yang Esa, akan tetapi mereka menyembah banyak rabb bahkan mereka menganggap rabb-rabb tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Walaupun demikian, mereka mengakui bahwa rabb-rabb tersebut tidak ada mendatangkan mudharat maupun manfaat. Oleh karena itu, Allah tidak menggolongkannya sebagai orang-orang kafir sebab mereka mempersekutukan-Nya dengan salain-Nya dalam ibadah.
Dari sini, aqidah salafush shalih -Ahlus Sunnah wal Jamaah berbeda dengan yang lainnya dalam hal tauhid uluhiyyah. Ahlus Sunnah tidak mengartikan tauhid seperti pendapat sebagian kelompok bahwa makna tauhid itu "adalah tidak ada Pencipta kecuali Allah," akan tetapi menurut mereka tauhid uluhiyyah tidak terlealisir kecuali bila ada dua prinsip:
Pertama : Agar semua bentuk ibadah hanya ditunjukkan kepadan-Nya SWT tidak boleh kepada yang selain-Nya dan makhluk tidak diberikan hak apapun dari hak-hak Pencipta dan ciri-ciri khas-Nya.
Maka tidak boleh diibadahi kecuali Allah, tidak boleh shalat kepada selain-Nya, tidak boleh sujud kepada selain-Nya, tidak bernadzar kepada selain-Nya dan tidak bertawakkal kepada selain-Nya. Tauhid Uluhiyyah itu menuntut pengesahan Allah dalam ibadah.
Ibadah: Mencakup perkataan hati dan lisan atau juga berupa perbuatan hati dan anggota tubuh.
Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matika hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (Al-An'aam: 162-163).
Allah SWT berfirman, "Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...." (Az-Zumar: 3)
Kedua: Ibadah itu harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya SAW.
Mentauhidkan Allah SWT dalam ibadah, tunduk dan taat adalah realisasi dari syahadat: "Laa Ilaha Illahlahu (tidak ada ilah yang diibadahi kecuali Allah)."
Mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah SAW, dan mentaati apa yang diperintahkannya serta dilarangnya adalah realisasi dari syahadat: "Muhammadur Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah).
Manhaj ahlus sunnah wal jamaah: mereka beribadah hanya kepada Allah SWT dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, mereka tidak memohon kecuali hanya kepada Allah dan tidak meminta bantuan (beristighatsah) kecuali kepada-Nya SWT, tidak bertawakal kecuali kepada-Nya, tidak taku kecuali kepada-Nya dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan (melakukan) ketaatan ibadah kepada-Nya serta dengan melakukan amalan-amalan yang shalih. Allah Ta'ala berfirman, "Beribadah kepada Allah dan jangannlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (An-Nisaa': 36).
3. Tauhid Asma'wa Sifat:
Yaitu keyakinan dengan pasti bahwa Allah SWT mempunyai asmaul husna (nama-nama yang baik), dan sifat-sifat yang mulia. Dia memiliki semua sifat yang sempurna dan suci dari segala kekurangan. Dia-lah Yang Maha Esa dan sifat-sifat tersebut, tidak dimiliki oleh makluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah: Mengetahui Rabb mereka dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka menyifati Rabb-nya seperti apa yang Allah SWT telah sifatkan untuk diri-Nya dan seperti apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya SAW, tidak melakukan tahrif (penyelewengan) ungkapan-ungkapan dari konteks pengertian yang sebenarnya, ataupun ilhad (Al-Ilhad yaitu berpaling dari kebenaran; dan termasuk kategori ilhad adalah: ta'thil (mengabaikan), tahrif (menyimpangkan), takyif (menfisualiasikan) dan tamstil (menyerupakan) sifat Allah. Ta'thil: Tidak menetapkan sifat-sifat Allah atau menetapkan sebagaiannya dan menafikan sisanya, Tahrif: Merubah nash baik sifat secara lafazh kepada makna yang lafazhnya tidak menunjukkan kepadanya kecuali dengan kemungkinan makna yang marjub (tidak kuat). Maka setiap tahrif adalah ta'thil dan tidak semua ta'thil adalah tahrif, takyif: Menjelaskan hakekat sifat, atau (bertanya dengan lafazh bagaimana), Tamstil: Menyerupakan sesuatu dengan Allah dari segala segi) dalam nama-nama-Nya dan ayat-ayat-Nya, dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan untuk dirinya-Nya tanpa tamstil, takyif, ta'thil dan tahrif. Dasar mereka dalam semua masalah ini adalah firman Allah, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (As-Syuura: 11).
Dan firman-Nya, "Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raaf: 180).
Ahlus sunnah wal jamaah: Mereka tidak membatasi "kaifiyyah" (bagaimanakan) sifat-sifat Allah Ta'ala, karena Dia -Tabaraka wa Ta'ala- tidak mengabarkan tentang kaifiyyah-Nya dan karena tiada seorang pun yang lebih mengetahui daripada Allah SWT tentang diri-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah: ‘Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?...."(Al-Baqarah: 140)
Dan firman Allah SWT, "Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 74)
Dan tiada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasul-Nya SAW setelah Allah, yang mana Allah SWT telah berfirman tentang beliau, "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."(An-Najm: 34)
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa Allah SWT "Yang Awal" yaitu yang telah ada sebelum segala sesuatu ada dan "yang Akhir" yaitu yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, "Yang Zhahir" ialah tiada di atas-Nya suatu apapun, dan "Yang Bathin" ialah tidak suatu apapun yang menghalangi-Nya. Seperti firman Allah SWT, "Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al-Hadiid: 3).
Sebagaimana Dzat-Nya SWT tidak menyerupai dzat-dzat yang lain; maka demikian juga sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat (makhluk-Nya). Karena Dia tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya dan tidak boleh dianalogikan dengan ciptaan-Nya. Maka ahlus sunnah wal jamaah benar-benar menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dengan penetapan tanpa tamtsil dan menyucikan tanpa ta'thil. Jadi ketika mereka menetapkan bagi Allah apa yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, maka mereka tidak men-tamtsil. Dan jika menyucikan-Nya, maka mereka tidak men-ta'thil sifat-sifat-Nya yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. (Tidak boleh sama sekali seorang berkhayal baik tentang "kaifiyyah" Dzat Allah maupun sifat-Nya).
Bahwasanya Allah Ta'ala Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Pencipta segala sesuatu dan Maha Pemberi rizki semua yang hidup. Allah Ta'ala berfirman, "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu merahasiakan); dan dia maha halus lagi maha mengetahui." (Al-Mulk: 14).
Dan berfirman pula, "Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (Adz-Dzariyaat: 58).
Ahlus sunnah wal jamaah mengimani bahwa Allah Ta'ala itu beristiwa'(Ber-istiwa' (bersemayam) di atas ‘Arsy dan al-‘Uluuw (Maha Tinggi) adalah dua sifat yang kita tetapkan bagi Allah Ta'ala dengan penetapan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sedang interprestasi kata "istiwa" menurut ulama Salaf adalah: Istaqarra = menetap, ‘alaa = tinggi, irtafa'a = tinggi dan sha'ada = naik. Ulama salaf menginterprestasikan kata tersebut dengan arti-arti diatas, tidak melampaui batas dan tidak menambah dari (semestinya). Dan tidak pernah ada dalam interprestasi salaf (kata istiwa) dengan arti: istaula=menguasi, atau Malaka=menguasai/memerintah, dan atau Qahara = menundukkan/mengalahkan. Kaifiyyahnya tidak diketahui, maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Mengimani hal ini adalah wajib, karena terdapat beberapa dalil yang mendasarinya. Menanyakan tentang hal tersebut adalah bid'ah, karena kaifiyyah istawa' Allah tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Dan juga karena para Sahabat Nabi tidak ada yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kaifiyyah istiwa' Allah di atas Arsy berada di atas langit yang ketujuh, terpisah dari makhluk-Nya namun mengetahui segala sesuatu, seperti yang Allah firmankan tentang diri-Nya dalam kitab-nya yang mulia dalam tujuh ayat tanpa menjelaskan kaifiyyah-Nya. (Yaitu secara berurutan, surat : (al-A'raaf: 54), (Yunus: 3), (ar-Ra'd: 2) (Thaahaa: 5), (al-Furqaan: 59), (as-Sajdah: 4) dan (al-Hadiid: 4).
Allah Ta'ala berfirman, "Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy." ( Thaahaa: 5). (Imam al-Hafizh Ishaq bin Rahawih r.a. berkata tentang ayat ini: "Para ulama bersepakat bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan mengetahui segala sesuatu apa yang di bawah lapisan bumi yang tujuh." Diriwayatkan oleh Imran adz-Dzahabi dalam kitab: Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffaar.
"Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataaan yang baik dan amal yang shahih dinaikkan-Nya" (Fathir: 10).
"Mereka takut kepada Rabb mereka yang diatas mereka." (An-Nahl: 50).
Nabi SAW bersabda, "Tidaklah kalian percaya kepadaku, sedang aku adalah kepercayaan siapa yang di atas langit?" (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064 (144) dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah: mengimani bahwa "al-Kursi" dan "al-Arsy" itu benar (adanya).
Allah Ta'ala berfirman, "...Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (Al Baqarah: 255).
Al-‘Arsy tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kadar besarnya kecuali Allah, sedang al-Kursi dibanding al-‘Arsy bagaimana gelang yang terletak di padang pasir, ukurannya seluas langit dan bumi. Allah tidak membutuhkan al-'Arsy dan al-Kursi, Allah beristiwa' di atas al-‘Arsy bukan karena membutuhkannya, tetapi hal itu karena ada hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Allah Maha Suci dari sifat membutuhkan kepada al-‘Arsy, apa lagi kepada apa yang dibawahnya, kedudukan Allah SWT lebih Agung dari hal itu. Bahkan al'Arsy dan al-Kursi itu diangkat dengan kekuasaan dan keagungan-Nya.
Allah Ta'ala menciptakan Adam a.s. dengan kedua tangan-Nya, keduanya adalah kanan dan keduanya terbuka, Allah memberi nafkah sebagaimana Dia kehendaki. Seperti yang Allah sifati sendiri untuk diri-Nya dalam firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu. "sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu (tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki." (Shaad: 75).
Dan firman-Nya, "Apakah yang menghalangi kamu (Iblis) sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?" (Shaad: 75)
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan bagi Allah: pendengaran, penglihatan, ilmu, kekuasaan, kekuatan, kemuliaan, kebersamaan (ma'iyyah), firman, hidup, telapak kaki, betis, tangan dan lain-lain dari sifat-sifat yang telah Allah sifatkan sendiri untuk diri-Nya dalam kitab-Nya yang mulia dan melalui lisan Nabi-Nya SAW dengan kaifiyyah yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya sedang kita tidak mengetahuinya, karena Dia tidak mengabarkan kepada kita tentang kaifiyyah-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua (Musa dan Harun), Aku mendengar dan melihat." (Thaahaa: 46).
Dan beberapa firman-Nya, "Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Tahriim: 2)
"Dan Allah telah berbicara kepada Musa dan langsung." (An-Nisaa': 164)
"Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Rahman: 27).
"Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya." (Al-Maa-idah: 54)
"Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka." (Az-Zukhruuf: 55).
"Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa." (Al-Qalam: 42)
"Allah, tidak ada Rabb (yang berhak diibadah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus mengurus makhluk-Nya." (Ali ‘Imran: 42).
"......Allah telah murka kepada mereka....." (Al-Mumtahannah: 13)
Ahlus Sunnah wal Jama'ah: mengimani bahwa orang-orang Mukminin akan melihat Rabb mereka di akhirat dengan mata kepala mereka dan mereka mengunjungi-Nya, Allah akan berbicara dengan mereka dan sebaliknya mereka akan berbicara dengan-Nya. Allah berfirman, "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada rabb-nyalah mereka melihat." (Al-Qiyaamah: 22-23)
Dan mereka akan melihat-Nya seperti halnya melihat bulan pada malam bulan purnama, mereka tidak berdesak-desakan saat melihat-Nya. Seperti yang disabdakan Nabi SAW, "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, seperti kalian melihat bulan di malam bulan purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan saat melihat-Nya." (Muttafaq'alaihi). (HR. Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 633 (211), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah r.a. Lafazh bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).
Allah ta'ala turun ke langit dunia pada seperti malam dengan turun sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
Nabi SAW bersabda, "Rabb kita Tabaraka wa Ta'ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman : ‘Siapa yang berdo'a kepada-Ku, maka pasti Aku memperkenankan do'anya, siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya." (Mutafaq'alaihi). (HR. Al-Bukhari no. 7494 (168), at-Tirmidzi no. 3498, Abu Dawud no. 1315, 4733 dan Ibnu Abi 'Asihim dalam as-Sunnah no. 492).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa Allah ta'ala datang pada hari Akhir untuk mengadili di antara para hamba-Nya dengan datang secara hakiki sesuai dengan keagungan-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Jangan (berbuat demikian)! Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabb-mu; sedang Malaikat berbaris-baris." (Al-Fajar: 21-22)
Dan firman-Nya, "Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan Malaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskan perkaranya." (Al-Baqarah: 210)
Maka manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam semua hal tersebut: mengimani secara sempurna dan menerima (taslim) apa yang dikabarkan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya SAW.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam az-Zuhri, "Risalah itu datangnya dari Allah, dan tugas Rasul adalah menyampaikan (risalah tersebut) sedang kewajiban kita adalah taslim (patuh/tunduk)." (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarbus Sunnah (I/217). Lihat Fat-hul Baari (XIII/503).
Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Sufyan bin ‘Uyainah, "Semua yang Allah Ta'ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur-an, maka bacaannya adalah tafsirnya, tidak ada kata 'bagaimana' dan tidak ada tandingannya." (Dirawayatkan oleh Imam al-Lalika-i, dalam kitab Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama'ah, no. 736).
Imam asy-Syafi'i juga berkata, "Aku beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya sesuai dengan apa yang dimaksud Allah. Aku beriman kepada Rasul-Nya dan apa yang datang darinya sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah." (Lihat, Lum'atul I'tiqaad al-Haadi ilaa Sabilir Rasyaad, karya imam ibnu Qudamah al Magdisi yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab al-‘Aqil (I/83) cet. Maktabah Adhwaa-us Salaf, tahun 1419 H).
Al-Walid bin Muslim berkata: "Aku bertanya kepada Al-Auza'i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang hadits-hadits dalam masalah sifat dan ru'yah, maka mereka menjawab, "‘Perlakukanlah sebagaimana apa adanya, tanpa menanyakan bagaimananya.' (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah (I/171), lihat ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadiits oleh Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ismail bin ‘Abdurrahman ash-Shabuni, tahqiq Badr bin ‘Abdullah al-Badr no. 90 dan Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh al-Lalika-i no. 875).
Imam Malik bin Anas -Imam Darul Hijrah- berkata: "Waspadalah kalian terhadap perbuatan bid'ah!" Beliau ditanya: "Apakah bid'ah itu?" Beliau menjawab: "Ahli bid'ah adalah mereka memperbincangkan Asma' Allah, Sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya. Mereka tidak diam seperti diamnya pada sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/217).
Seseorang bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang maksud Firman Allah, "(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy." (Thaahaa: 5)
Beliau menjawab, ""Istiwa'-nya Allah tidaklah majhul (diketahui maknanya), dan kaifiyyatnya tidak dapat dicapai akal (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perbuatan bid'ah dan aku tidak melihatmu kecuali engkau adalah seorang yang sesat."
Kemudian beliau menyuruh agar orang tersebut dikeluarkan dari majlis ilmu beliau." (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah). (Dikeluarkan oleh al-Lailak-i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah no. 664, Mukhtashar al-‘Uluw oleh Imam ad-Dzahabi, Tahqiq Syaikh al-Albani, hal. 141-142, cet. Al-Maktab al-Islami, th. 1412 H.)
Imam Abu Hanifah berkata: "Seseorang tidak boleh berbicara sedikit pun tentang Dzat Allah, namun hendaknya ia mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. Dan tidak mengatakan dalam hal ini dengan sependapatnya semata. Mahasuci Allah lagi Maha Tinggi, Rabb semesta alam."
Ketika beliau ditanya tentang sifat nuzul(turunnya Allah ke langit dunia), maka beliau berkata: "Dia turun dan (jangan bertanya) ‘bagaimana' (Dia turun)? (Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah Tahqiq Syu'aib al-Arna-uth dan Dr. ‘Abdul Muhsin at-Turki, hal. 264-269).
Imam al-Hafizh Nu'aim bin Hammad al Khuza'i berkata, "Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Dan barangsiapa mengingkari apa yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya maupun (disifatkan oleh) Rasul-Nya bukanlah tasybih (penyerupaan)." (Diriwayatkan Imam adz-Dzahabi, dalam kitab al-‘Uluuw lil ‘Aliyyil Ghoffar). (Hal. 184 no. 217).
Sebagian Salaf berkata, "Pijakan Islam tidak akan kokoh kecuali di atas jembatan taslim (penyerahan diri kepada Allah dan Rasul-Nya)." (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah hal.171. Lihat pula Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah tahqiq Syaikh al-Albani hal. 201, ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadits oleh Imam ash-Shabuni no. 91).
Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti metode Salaf dalam berbicara tentang Dzat Allah Ta'ala dan sifat-Nya, maka ia akan konsisten dengan manhaj al-Qur-an tentang Asma' Allah dan Sifat-sifat-Nya; meskipun orang tersebut hidup pada zaman Salaf maupun pada zaman yang datang kemudian.
Sebaliknya, barangsiapa berselisih dengan Salaf dan manhajnya, maka ia tidak akan konsisten dengan manhaj al-Qur-an, walaupun ia berada di zaman salaf bahkan sekalipun ia hidup di antara pada sahabat dan Tabi'in.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 68 -91.
MEMAHAMI MANHAJ SALAF AS-SHOLIH
(disadur oleh: M.Mumtaz. I.M, S.Th.I)
Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102).
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhya Allah selalu menjaga dan megawasi kamu." (An-Nisaa':1).
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampunimu bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenagan yang besar." (Al-Ahzab: 71).
Kebangkitan dunia Islam telah menyadarkan banyak orang tentang kekuatan Islam, meskipun kebangkitan tersebut tidak melalui kekuasaan. Tetapi, Islam memasuki kalbu, otak, dan urat nadi orang yang mencari kebenaran. Hanya saja, kebangkitan tersebut perlu lebih diarahkan kepada satu asas dan bingkai yang diterima oleh semua pihak yang secara jujur membawa misi Islam, li'ilaa'i kalimatillah.
Arah dan bingkai tersebut tak lain dan tak bukan adalah manhaj salaf as-saleh, berupa perangkat pemahaman yang utuh dari ajaran Rasulullah saw. dan contoh yang diberikan oleh generasi-generasi pertama Islam yang tulus dan banyak mendapat pujian dari Rasulullah saw. Hal tersebut tentunya untuk menghindari berbagai penyimpangan yang dialami oleh sebagian umat Islam. Penyimpangan tersebut bervariasi: dari yang besar sampai kepada dualisme pemahaman dengan maksud memilah-milah untuk kepentingan tertentu. Hal itu sangat berbahaya karena dasarnya adalah hawa nafsu. Karena, pemahaman sesungguhnya harus menyeluruh dan kita terima tanpa tawar-menawar. Imam Malik menyebutkan bahwa generasi terakhir tidak akan berjaya, kecuali mengikuti jejak generasi pertama. Kemenangan umat Islam yang dipimpin oleh Rasullah saw. dan para sahabatnya berhasil menyingkirkan dua super power saat itu: Persia dan Romawi. Beratus-ratus tahun kejayaan itu berlangsung sampai menerangi sebagian wilayah barat dan timur. Cordova menjadi sinar Islam di Barat, dan Baghdad menjadi sinar Islam di Timur. Direbutnya Baghdad oleh pasukan Tartar dan jatuhnya Cordova ke tangan penjajah salibis membuat kekuatan Islam melemah dan memberikan peluang bagi Barat untuk memulai infasi militernya ke hampir seluruh wilayah Islam, kecuali Saudi Arabia.
Dengan dominasi Barat itu, sebagian umat Islam yang mempunyai jiwa infriority complex menganggap bahwa kekuatan Islam telah habis dan harus menghadapi model kehidupan Barat yang maju dan modern, baik sistem politiknya (demokrasi) maupun sistem ekonominya (kapitalisme), atau antithesa dari sikap itu mereka mengadopsi sistem politik Timur (Sovyet) yang komunis-sosialis.
Adapun pihak ketiga, mereka tidak ingin sepenuhnya mengadopsi sistem Barat maupun Timur. Mereka mengadopsi nasionalisme lokal dengan menjadikan Islam sebagai agama formal. Artinya, secara lahir mereka beragama Islam, tetapi hakikatnya mereka hidup dengan sistem non-Islam. Sebagian umat Islam mencari bentuk perjuangan lain: ada yang berjuang lewat jalur politik; ada yang berjuang lewat jalur ekonomi; ada yang berjuang lewat dakwah; dan ada pula yang berjuang lewat jihad, dan lain-lain. Hal inilah yang mendorong para pemikir muslim bertanya, mengapa seluruh pemikiran luar diadopsi, sedangkan sistem Islam malah dijauhi. Di antara suara nyaring dari umat Islam adalah seruan mengadopsi sistem demokrasi yang dianggap dapat menjadi jalan keluar bagi umat Islam yang tinggal berdampingan dengan masyarakat nonmuslim.
Manhaj Salaf as-Saleh
Manhaj secara bahasa berarti "jalan", adapun salaf as-saleh berarti "pendahulu yang saleh". Secara epistemologi syara', manhaj salaf as-saleh berarti jalan atau metode pemahaman Islam yang ditempuh oleh generasi terbaik yang dipimpin oleh Rasulullah saw., sahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in, atau sampai generasi ketiga, sesuai dengan sabda Nabi saw. yang artinya, "Sebaik-baik manusia yang berada pada abadku, kemudian generasi berikutnya, sampai terdapat kaum-kaum yang syahadat mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului sahadatnya." (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Hal ini juga berdasarkan Alquran yang menekankan kepada kita untuk mengikuti generasi terbaik, yaitu para sahabat dalam banyak ayat (Ali Imran: 110, An-Nisaa': 115, At-Taubah: 100, dan lain-lain). Karena, pemahaman mereka terhadap Islam paling selamat, seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Laalikaa'i, "Sesungguhnya hal yang paling wajib atas seseorang adalah makrifat terhadap din dan apa-apa yang Allah bebankan kepada hamba-hamba-Nya berupa pemahaman tauhid terhadap-Nya, sifat-sifat-Nya, dan membenarkan utusan-utusan-Nya dengan dalil keyakinan, dengan cara istidlal dengan hujjah dan penjelasan. Dan sebaik-baik ucapan dan hujjah yang rasional adalah Al-Qur'an dan sabda Rasulullah serta perkataan para sahabat, kemudian ijma' para salaf as-saleh dan berpegang teguh terhadap keseluruhannya sampai hari kiamat serta manjauhi berbagai bid'ah yang diada-adakan oleh para penyesat, sekalipun hanya mendengarkannya." (Al-Laalikaa'i, Syarah Ushul I'tiqad Ahli Sunnah wal Jama'ah, juz I, hlm. 9).
Kehidupan para salaf as-saleh dalam perjuangan hidupnya berfariasi: ada yang menjadi penguasa, ada pula yang menjadi ulama, dan yang mayoritas adalah masyarakat biasa, yang kesemuanya dalam rangka menegakkan kebenaran Ilahi. Gambaran mereka pada umumnya seperti ungkapan ruhbaanun billaili wa fursaanun bin nahaari (ahli ibadah di waktu malam dan pejoki-pejoki di waktu siang). Ungkapan Ibnu Mas'ud kepada para tabi'in, "Kalian (para tabi'in) lebih banyak puasa dan salat daripada sahabat-sahabat Muhammad saw., padahal mereka lebih baik daripada kalian. Mereka berkata, 'Apa sebabnya?' Beliau menjawab, 'Karena mereka lebih zuhud dari kalian dalam masalah dunia dan lebih mengutamakan akhirat'." Ibnu Qayyim menceritakan dalam kitabnya, I'lamul Muwaqqi'in, bahwa Ibnu Mubarak pernah ditanya, kapan seseorang boleh berfatwa, maka beliau menjawab, "Apabila dia menguasai dalil dan mengerti realitas masyarakat." Demikian pentingnya memahami realitas masyarakat dalam rangka menegakkan perjuangan Islam.
Realitas Umat Islam Hari Ini
Syekh Abdul Ghani Rahhal dalam bukunya, Umat Islam dan Fatamorgana Demokrasi, menyebutkan bahwa kemunduran umat Islam dewasa ini disebabkan empat hal.
Disingkirkannya sistem Islam sebagai pegangan hidup (way of life) terutama dibidang politik (siyasah syar'iyah.
Kekuasaan negara-negara Islam di tangan para diktator yang membenci hukum Islam.
Musuh-musuh Islam mencengkeram seluruh kekuatan penguasa muslim.
Tingkat dekadensi moral yang sangat tinggi melanda kehidupan muslim.
Namun, menurut hemat kami, kerusakan justru terletak pada kebobrokan para pemimpin dan rusaknya sistem politik buatan manusia dan amburadulnya masyarakat dari berbagai sisi. Misalnya, perjuangan lewat demokrasi yang berarti kekuasaan di tangan rakyat, bersumber dari negara Barat yang sekuler, yang memisahkan kekuasaan politik dan agama. Akibatnya, jika diterapkan di wilayah negara Islam, secara otomatis Islam tidak berperan dalam pengaturan negara. Itu berarti Islam hanya memasuki wilayah individu saja. Adapun mereka yang masih bersemangat menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, dan pada gilirannya akan diberlakukan syariat Islam, ternyata terbukti beberapa kali gagal. Kegagalan itu pernah terjadi di Mesir, Yordania, Pakistan, dan Aljazair. Bahkan, di Aljazair, setelah kemenangan mutlak di tangan Islam, secara sepihak kubu pro status quo yang didukung oleh negara-negara Barat penganut islamphobia berusaha sekuat tenaga menggagalkan kemenangan itu. Hal ini mendorong para tokoh Islam di sana untuk mengangkat senjata. Perjuangan parlementer juga pernah gagal di Indonesia. Kegagalan Masyumi mendorong kelompok M. Natsir mengangkat senjata melalui PRRI.
Menegakkan Islam dengan Cara Islam
Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara Islam. Meskipun kenyataan di lapangan banyak upaya itu dilakukan dengan beragam cara. Ada kalanya dengan cara islami namun sifatnya parsial, ada pula yang tidak islami tetapi berusaha melegitimasinya dengan dalil-dalil syar'i, dengan lebih banyak bersifat ijtihad pada saat ada dalil. Ini yang menjadi soal, sebab ijtihad hanya dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.
Karena itu, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi muslim, umpamanya, menekankan bahwa perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom muslim menganalisa, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang teguh kepada Islam agar meraka jaya, tanpa memerinci lebih jauh apa dan bagaimana realisasinya, dst ... dst. Maka, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salaf as-saleh sepanjang perjalanan sejarah perjuangan umat Islam.
Tanggung Jawab Personal
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kita mempunyai andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya." (2: 286).
"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (4: 84).
"Hai orang-orang yang beriman, selamatkan diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (66: 6).
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu."
Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu "Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (51: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik perkataan, perbuatan yang nampak, ataupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyah, hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokus kita adalah bahwa yang menjadi acuannya adalah syariat Islam. Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (5: 2).
Tanggung jawab pun semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
"Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suami dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba Allah yang melaksanakan syariat sesuai dengan kemampuannya, ia berarti berkhianat.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui." (QS 8: 27).
Dalam istilah fiqh, tanggung jawab personal itu ada fardu ain sendangkan tanggung jawab kolektif itu fardu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain. Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayahnya. Kalau tidak, seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan dari perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengotak-kotakkan masa Mekah dan masa Medinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkan secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempraktikkan sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita.
"Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (64: 16).
Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani: "Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya, dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya, dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR Daruqutni, hadis hasan).
Beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang diciptakan, karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat." (HR Abu Daud dan Tirmizi, hadis hasan).
Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Makkah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke Madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif, tetapi tidak cocok. Kemudian beliau memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian, beliau membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempatan kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama muslim dengan mempersaudarakan Muhajirin (dari Makkah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat "Piagam Madinah" untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim.
Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar. Sampai 27 kali beliau berperang, antara perang defensif dan perang ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah yaitu kepada kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat DR. Rabi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya', hlm. 87).
Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan jihad. Beliau membagi jihad ini menajdi empat bagian.
1. Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berjihad dengan melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti bahkan membahayakan.
Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
Jihad menekan siri agar sabar terhadap cobaan berupa gangguan manusia (empat hal inilah terkandung dalm surat Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-Ashr, niscaya cukup baginya).
2. Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keraguan-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (lihat As-sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kuffar dan munafikkin, melalui empat tahap.
Dengan kalbu.
Dengan lisan.
Dengan harta.
Dengan tangan.
4. Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap. Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak dengan lisan, kalau tidak mampu minimal dengan hati. (HR Muslim).
Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, Zaadul Ma'adz, juz 3, hlm. 6--13).
Dengan demikian, telah jelas bagi kita untuk meniti jalan salaf as-saleh dan tidak terjerumus kepada metode perjuangan lain yang terbukti secara faktual telah gagal berkali-kali, seperti lewat prioritas politik, apalagi perjuangan lewat parlementer melalui demokrasi yang telah gagal lebih dari lima kali di dunia Islam. Atau, lewat metode sufi yang sedang marak digabung ekonomi atas nama manajemen qalbu atau semacamnya. Tetapi, kita perlu menempuh semua aspek integral, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, ekonomi, politik, bahkan militer. Benar kata Umar bin Khaththab r.a. dalam ungkapan spektakulernya yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimulyakan oleh Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."
Juga ucapan Imam Malik yang artinya, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar: