oleh :
(Endang Abdullah : 05659)
Manusia yang kurang terencana dengan baik, dimulai dari perencanaan SDM sampai dengan pengembangan kariernya tidak dikeIoa dengan semestinya. Dilain pihak, kebijakan nasional yang mengatur berbagai aspek Manajemen SDM Aparatur beserta penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerahpun tampaknya masih kurang mendukung terhadap upaya peningkatan kualitas aparatur, terutama setelah kewenangan mengurus SDM Aparatur diserahkan kepada Daerah. Upaya peningkatan kualitas aparatur ini diantaranya dengan penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan.
A. Konsep Motif Berprestasi
Motif berprestasi berasal dan terjemahan bahasa inggris need for achievement dan sering disingkat dengan nach. Teori ini diperkenalkan oleh Mc.Clelland dan Harvard University pada tahun 1961. Selanjutnya Mc.Clelland dalam Sihadi (1988:31) menyebutkan need for achievement tersebut dirumuskan menjadi achievement motivation yaitu: “ the desire to do well not so much for sake of social recognition or prestige.” Maksudnya keinginan untuk melakukan sesuatu dengan baik bukan ditentukan oleh prestise dan pengenalan sosial.
Mc.Clelland dalam Hasibuan[1] berpendapat bahwa untuk memahami motivasi berprestasi akan mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan, yaitu:
(a) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement) merupakan daya penggerak yang memotivasi seseorang. Karena itu kebutuhan akan berprestasi akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan menggerakkan semua kemampuan dan energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang maksimal, pegawai akan antusias bekerja asalkan kemungkinan untuk itu akan diberi kesempatan.
(b) Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) menjadi daya penggerak yang akan memotivasi seseorang. Oleh karena setiap orang menginginkan hal-hal sebagai berikut :
1) kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dilingkungan Ia tinggal dan bekerja (sense of belonging),
2) kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (sense of imfortance),
3) kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement), dan
4) kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation)
(c) Kebutuhan akan kekuatan (need of power) merupakan daya penggerak yang memotivasi seseorang. Kebutuhan kekuatan akan merangsang dan memotivasi seseorang serta menggerakannya semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik.
Selanjutnya, Mc. Clelland dalam Toha[2] mengatakan yang dimaksud motivasi berprestasi adalah dorongan dan dalam diri seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan yang Iebih baik menurut standard keunggulan. Prabu[3] menjelaskan bahwa motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan tingkat terpuji. Dan beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi berprestasi adalah daya dorong pada seorang individu untuk melaksanakan pekerjaan, dengan mengatasi segala hambatan dan tantangan dalam mencapai kebutuhan dan tujuan tertentu dengan hasil yang terbaik. Dorongan tersebut dapat datang dan dalam diri seseorang (instrinksik), dan dapat juga berasal dan luar diri seseorang (ekstrinsik).
Setiap individu mempunyai motif berprestasi, tetapi tingkatan dan intensitasnya juga berbeda-beda. Orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila dihadapkan pada tugas yang kompleks cenderung melakukannya dengan semakin baik begitu mereka berhasil, Mereka tampak antusias untuk menyelesaikan tugas mereka dengan baik lagi pada saat mereka melanjutkannya.
(a). Motif berprestasi tinggi:
(1) Sikapnya selalu optimis,
(2) Mengakui potensi orang lain,
(3)Mampu memproyeksikan pribadinya sehingga orang lain memahami pola pikirnya,
(4) Memberi kesempatan kepada orang lain untuk berprestasi, dan
(5) Senang bermasyarakat dan terbuka dalam berkomunikasi
(b). Motif berprestasi menengah:
(1) Selalu memikirkan status simbul,
(2) Tidak senang melibatkan orang lain,
(3) Dikuasai perasaan dan ide pribadi, dan
(4) Senantiasa memikirkan prediksi
(C). Motif berprestasi rendah:
(1) Memiliki pandangan yang pesimis dan tidak percaya pada orang lain,
(2) Selalu memikirkan keamanan,
(3) Tidak senang melibatkan orang lain,
(4) Tidak suka berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, dan
(5) Mengutamakan perlindungan diri dan produksi tetapi tidak mempedulikan orang lain. Sedangkan Eysenck dalam Aswani [4] mengemukakan perbandirigan orang yang bermotivasi berprestasi tinggi dan orang yang bermotivasi rendah. Orang yang bermotivasi berprestasi tinggi selalu :
(1) memiliki ambisi tinggi,
(2) suka bersaing secara sehat,
(3) suka bekerja keras,
(4) memberikan penilaian tinggi terhadap (menghargai) produktivitas.
Sedangkan orang bermotivasi rendah cenderung
(1) Memberikan penilaian rendah terhadap hasil kreasi dan hasil yang diperoleh secara kompetisi,
(2) Bersikap apatis,
(3) Cenderung mengucilkan diri.
Kebutuhan Sosial (Social Needs), adalah kebutuhan akan teman, afiliasi, interaksi, dicintai dan mencintal, serta diterima dalam Iingkungan pergaulan baik ditempat kerja maupun di masyarakat. Kebutuhan sosial manusia digolongkan menjadi empat golongan:
- pertama, kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dilingkungan Ia hidup dan bekerja,
- kedua kebutuhan merasa dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting,
- ketiga kebutuhan akan kemajuan dan tidak gagal, dan
- keempat kebutuhan akan perasaan ikut serta
Kebutuhan akan penghargaan (Esteem Needs) adalah kebutuhan akan penghargaan diri maupun untuk penghargaan dan pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan diri mencakup kebutuhan untuk mencapai kepercayaan diri, prestasi, kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri, kebebasan, dan ketidaktergantungan. Kebutuhan akan penghargaan dan pihak lain mencakup prestise, kebutuhan akan status, pengakuan, apresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan pihak lain.
Kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualization), adalah kebutuhan individu untuk merealisasikan potensi yang ada pada dirinya untuk dissatisfier (hygiene factor) ialah faktor-faktor yang menimbulkan sumber ketidakpuasan, yang terdiri dan: kebijakan perusahaan dan administrasi (company policy and administrations), supervisi teknik (supervision technical), gaji (salary), hubungan perorangan (interpersonal relations) kondisi-kondisi kerja (working condition), keamanan kerja (job security) dan status (Gibsonj99495). Perbankan pada kondisi itu akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena faktor-faktor tersebut bukan sumber kepuasan kerja. Untuk dissatifiers ini ini diberi sebutan extrinsic factor, job contex dan hygiene factor.
B. Teori Motivation
Teori Motivasi dan Mc.Clelland disebut juga “Mc CIelIand’s Need for Achievent Theory”. Teori motivasi berprestasi ini menjelaskan adanya tiga kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan akan prestasi (need for achievement, disingkat n Ach), kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation, disingkat n Aft) dan kebutuhan akan kekuasaan (need for power, disingkat n Pow).
Ketiga kebutuhan tersebut terbukti merupakan unsur-unsur yang amat penting dalam menentukan prestasi orang dalam bekerja. Lebih lanjut Mc.Clelland mengemukakan bahwa apabila kebutuhan seseorang terasa sangat mendesak, maka kebutuhan itu akan memotivasi orang tersebut untuk berusaha keras memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya, apabila orang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, maka kebutuhan ini mendorong orang untuk menetapkan tujuan yang penuh tantangan, bekerja keras untuk mencapai tujuà n .
C. Teori Proses
Teori proses menekankan bagaimana dan dengan apa setiap individu dimotivasi agar menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian teori proses mengenai motivasi berusaha menjawab pertanyaan bagaimana menguatkan (Energizer), mengarahkan (direct), memelihara (maintain), dan menghentikan (stop) perilaku individu, agar individu bekerja sesuai dengan keinginan perusahaan[5]. Teori ini mengindikasikan terjadinya proses sebab dan akibat dari perilaku individu, bagaimana sesorang itu bekerja dan apa yang diperolehnya. Jadi hasil yang dicapai tercemin dari bagaimana proses kerja yang dilakukan seseorang. Jika individu bekerja dengan baik saat ini maka akibatnya akan menghasilkan sesuatu yang baik kemudian hari. Hasil yang dicapai individu tergantung bagaimana proses kegiatan yang dilakukan individu tersebut. Dasar teori proses tentang motivasi adalah ekspetancy (harapan), yaitu apa yang dipercayai individu akan memperoleh hasil dari tingkah laku mereka. Karena itu penggerak yang dapat memotivasi seseorang tergantung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan. Artinya jika harapan menjadi kenyataan, seseorang akan meningkatkan gairah kerjanya, demikian pula bila harapan tidak menjadi kenyataan maka gairah kerjanya akan menurun. Teori proses tentang motivasi harapan (expentancy theory), teori keadilan (Equity) dan teori pengukuhan (reinforcement theory).
D. Kreativitas
Pengertian Kreativitas berasal dan kata kreatif yang berarti memiliki daya cipta atau memilik, kemampuan untuk menciptakan, sedangkan kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan atau daya cipta (Depdikbucj, 1996 : 530). Dedi Supriadi (1997:7) menyebutkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relative berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Pada hakikatnya seseorang memiliki kreativitas hanya tingkatannya yang berbeda-beda, sehingga setiap orang dapat dikembangkan kreativitasnya, Hal ini seperti dikemukakan Devito (1971) dalam Sudradjat (2000:56), bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang dengan tingkatannya berbeda-beda, setiap orang lahir dengan potensi kreatif dan potensi ini dapat dikembangkan dan dipupuk.
Dalam berbagai literatur terungkap bahwa kreativitas merupakan konsep majemuk dan multidimensional Utami Munandar menyatakan bahwa tidak ada definisi mengenal kreativitas yang dapat diterima secara universal, karena bila ditinjau dan dimensi yang berbeda dan dasar acuan yang berbeda akan menghasilkan definisi yang berbeda pula. Sejalan dengan pernyataan ini, Dedi Supriadi (1994:74) mengungkapkan bahwa “a creativity is a matter of definition” yang bermakna bahwa pengertian kreativitas tergantung pada bagaimana orang mendefinisikannya. Tidak ada satu definisipun yang dianggap dapat mewakili pemahaman yang beragam mengenal kreativitas. Hal tersebut disebabkan karena dua alasan, yaitu: pertama sebagai suatu konstruksi hipotesis kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional, yang mengundang berbagai tafsiran; kedua, definisi-definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi.
Untuk memberkan gambaran serta meyakinkan kita mengenal pernyataan diatas, kita cermati definisi kreativitas menurut para ahli berikut Rhodes (1988) dalam Munandar menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam empat jenis difinisi atau disebut “Four P’s of Creativity: Person, Proses, Press, and Product” Definisi yang dihasilkan sebagian besar berfokus pada salah satu atau kombinasi dan keempatnya:
(1) Semberg, 1988 dalam “three facet model of creativity “ menekankan pentingnya aspek pribadi (Person) dan menyatakan bahwa kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis : intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi;
(2) Sedangkan Wallas Utami Munandar menekankan pada Iangkah-Iangkah proses kreatif (Process), yang diterapkan dalam pengembangan kreativitas, meliputi: tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi;
(3) definisi kreatif yang berfokus pada produk (Product) diungkapkan oleh Barron (1969) dalam Munandar [6] sebagai kemampuan untuk menghasilkan dan atau menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan Haefele (1962) menekankan pada kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial;
(4) definisi yang menekankan pada faktor pendorong (Press) menyatakan bahwa kreativitas ditentukan adanya dorongan internal maupun eksternal dan Iingkungan sosial dan psikologis. Evan dalam bukunya Creative Thinking in Decision and Management Sciences (1990:1-2) menyatakan bahwa “Creative is the ability to discover new relationship, to look at subjects from new perspectives, and to form new combinations from two or more concepts already in the mind”. Penekanan dalam definisi ini adalah pada kemampuan untuk menemukan yang baru dan subyek-subyek yang ada dengan menggunakan perspektif baru untuk menghasilkan kombinasi dua atau lebih konsep yang ada dalam pikirannya.
Ciardi, dalam Couger [7]menyatakan bahwa “Creativity is the immaginafively gifted recombihation of known elements into something new”. Dalam definisi ini kreativitas merupakan bakat yang diberikan untuk melakukan kombinasi ulang secara imajinatif dan hal-hal yang sudah diketahui menjadi sesuatu hat yang baru.
Jeff DeGraff dan Katherine A. Lawrence, dalam bukunya yang berjudul Creativity at Work (2002:18) menyimpulkan bahwa: ”Creativity as a core competence can help a company create products, services, processes, or ideas that are better or new. Creativity means different things to different people. We define creativity as a puposeful activity (or set of activities) that produce valuable products, seivices, or ideas that are better or new.” ini berarti bahwa kreativitas sebagai kompetensi utama dapat membantu perusahaan (analog dengan organisasi pendidikan) menciptakan produk, pelayanan, proses, atau gagasan-gagasan yang lebih baik atau yang baru. Kreativitas berarti perbedaan suatu hal terhadap orang lain. Kita mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas tujuan (atau seperangkat aktivitas) yang menghasilkan nilai produk, pelayanan, proses, atau gagasan-gagasan yang lebih baik atau yang baru. Winardi (1991) menyatakan; penulis-penulis manajemen membedakan istilah kreativitas dan inovasi, mereka mendefinisikan kreativitas sebagai penciptaan ide-ide baru dan inovasi dianggap sebagai penerjemahan ide kedalam bentuk sebuah produk baru, servis baru maupun metode baru.
Menurut I.B. Mohr, seperti ditambahkan Winardi; kreativitas mengandung makna menciptakan sesuatu yang baru sedangkan inovasi mengandung makna menimbulkan sesuatu yang baru untuk dimanfaatkan. melakukan kombinasi ulang secara imajinatif dan hal-hal yang sudah diketahul menjadi sesuatu hal yang baru.
Dan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun definisi yang dihasilkan beragam sesuai dengari tinjauan yang mendasarinya, namun pada intinya terdapat persamaan, yaitu kreativitas merupakan, kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan, proses maupun produk karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Couger (1996:5) menggaris bawahi katakteristik kreativitas yang sejalan dengan pernyataan di atas dengan mengungkapkan bahwa “two caracteritics that most often appear in the definitions of creativity are unewness or uniqueness” and “value or utility”.
Dengan tidak adanya definisi kreativitas yang bersifat universal, maka dapat dikatakan bahwa definisi kreativitas bersifat abstrak, namun dapat diaplikasikan pada semua bidang kehidupan. Kreativitas merupakan upaya dan pengejawantahan bakat, talenta, dan visi yang bersifat unik yang dimilikii manusia ke dalam realita eksternal yang bersifat baru dan bermanfaat kita harus tetap meyakini bahwa kreativitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan berada dalam diri kita, dan dalam lingkungan kita baik dalam lingkungan sosial maupun Iingkungan kultural. Creative Person, yaitu merujuk pada kesadaran, keadaan bawah sadar, serta sifat-sifat kognitif pada individu. Lingkaran kedua disebut Creative Experience, yaitu merupakan representasi jumlah keseluruhan dan pengalaman subyektif individu yang dihubungkan dengan kegiatan dan proses kreatif. Lingkaran paling luar disebut Psychological Field, yaitu merujuk pada kawasan psikologis dan stimulasi dari luar yang dialami oleh individu karena tanggungjawabnya untuk menumbuhkan sejumlah ide, pikiran, dan pandangan serta kegiatan yang dipilih dan digambarkan.
Kawasan psikologis tersebut merupakan referensi dari daya pikir, gagasan, dan fantasi yang dimiliki oleh setiap individu. Meta teori di atas memberikan koritribusi terhadap siapapun yang melakukan yang melakukan penelitian mengenal kreativitas. Dengan mempertimbangkan semua dimensi dalam meta teori di atas, diharapkan penelitian mengenal kreativitas akan semakin komprehensif dan menghasilkan temuan yang bermanfaat untuk pengembangannya dimasa mendatang. Teori dan hasil berbagai studi tentang kreativitas telah melahirkan beberapa asumsi yang diangkat oleh Dedi Supriadi (1994:15-17) sebagai berikut:
(1) Setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda. Tidak ada orang yang sama sekali tidak memiliki kreativitas, oleh karena itu yang diperlukan adalah bagaimana mengembangkan potensi kreatif tersebut. Pucico (2002:3) mengungkapkan hasil penelitian mutahir mengenai kreativitas yang menyatakan bahwa “individuals not only different in the amount or level of the creative ability they prossess, but they also different their style of creativity” Perbedaan orang kreatif dengan orang tidak kreatif sesungguhnya menunjuk pada tingkat kreativitas tinggi dan tingkat kreativitas rendah, karena derajat kreativitas berada dalam suatu garis kontirtum;
(2) Kreativitas dinyatakan dalam bentuk produk-produk kreatif, baik berupa benda maupun gagasan. Tinggi atau rendahnya kualitas karya kreatif seseorang dapat dilihat berdasarkan orisinalitas atau kebaruan karya itu dan sumbangannya secara konstruktif bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban;
(3) Aktualisasi kreativitas merupakan hasil dan proses interaksi antara faktor-faktor psikologis sebagai .faktor intemal dengan lingkungan sebagai faktor eksternal. Peranan masing-masing faktor tersebut pada setiap orang berbeda-beda. Asumsi ini disebut asumsi interaksional (Stein, 1967) atau sosial-psikologis (Amabie, 1983, Simonton, 1975) yang memandang kedua faktor tersebut secara komplementer. Kreativitas berkembang berkat serangkaian proses interaksi sosial. Kreativitas merupakan fenomena individual dan sekaligus fenomena kolektif-sosial budaya;
(4) Dalam diri seseorang dan lingkungannya terdapat faktor-faktor yang dapat menunjang atau justru menghambat perkembangan kreativitas. Munandar (1999:29) menyatakan bahwa kreativitas tidak akan berkembang dalam kebudayaan yang terlalu menekankan konfronitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau perkembangan baru. Faktor-faktor tersebut juga dapat diidentinkasi persamaan dan perbedaannya pada kelompok individu atau antara individu yang satu dengan yang lain.
E. Beberapa Jenis dan Pendekatan Dalam Studi Kreativitas
Studi tentang kreativitas dapat dilakukan dan segi pendekatan apa yang menjadi pusat perhatian serta model teoritis mana yang digunakan untuk menjelaskannya. Beberapa pakar (Rhodes, 1961; Welsh, 1972; MacKinnon, 1975; Utami munandar, 1977; 1988) mengemukakan bahwa dalam berbagai pustaka paling sedikit ditemukan lima tipe studi kreativitas, dengan penekanan masing-masing kepada perspektif pribadi (person), proses produk, pendorong, dan tempat di mana kreativitas itu diwujudkan. Kelima perspektif kreativitas itu dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan:
(1) Siapa pribadi kreatif,
(2) Apa yang disebut kreatif,
(3) Bagaimana kreativitas itu dapat terwujud,
(4) mengapa tingkat kreatif timbul, dan
(5) di mana kreativitas diungkap. Menurut Dedi Supriadi (1989:67) kelima dimensi dan kreativitas ini saling berkaitan dan bertumpang tindih, tetapi masing-masing dapat diidentifikasi perbedaannya untuk kepentingan penelitian, sébagai berikut:
Pertama studi yang diarahkan kepada dimensi person berusaha mencari jawaban atas “siapa orang kreatif itu?”. Hal-hal yang diungkap terdiri atas profit kepribadian individu kreatif yang dalam arti sempit meliputi sikap. minat, motivasi, dan gaya berpikir.
Disamping itu akan terungkap pula bakat-bakat kreatif beserta Iingkungan yang membesarkan individu. Penelitian yang dilakukan oleh Dedi Supriadi (1985) dengan menelaah sejumlah pustaka yang niembahas mengenal karaktristik pribadi kreatif, menyimpulkan sekitar 20 karakteristik pribadi kreatif, yaitu
(1) memiliki rasa ingin tahu,
(2) percaya pada diri sendiri dan mandiri,
(3) bebas dalam berpikir, tidak kaku atau terhambat,
(4) lentur dalam berpikir dan berespon,
(5) penuh semangat,
(8) berani mengambil resiko,
(7) mempunyal pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh,
(8) mempunyai toleransi kepada keadaan mendua, perbedaan pendapat, keadaan tak terstruktur dan kompleks,
(9) tidak kehabisan akal dalam memecahkan masalah,
(10) memiliki komitmen kuat pada tugas,
(11) tidak mudah bosan dan putus asa,
(12) memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah di Iingkungan, (13) sikap kriteria terhadap semua keadaan di sekitar,
(14) senang mempermainkan dan mengotak-atik berbagai unsur yang ada disekitar,
(15) terbuka kepada pengalaman baru dan tidak biasa, berkemauan teguh, tekun dan berambisi kuat meraih keberhasilan dalam suatu usaha,
(17) gemar mengajukan gagasan gagasan orisinal untuk memecahkan suatu masalah,
(18) menyukai petualangan dalam aktivitas dan gagasan,
(20) mempunyai minat yang tinggi kepada usaha-usaha kreatif.
Kedua, studi yang ditujukan kepada dimensi produk berusaha menjawab pertanyaan, apa yang dilakukan atau dihasilkan individu atau sekelompok individu sehingga mereka Iayak disebut sebagai orang kreatif?” Jawaban atas pertanyaan ini menyangkut hasil karya, prestasi, atau penampilan (performance) individu dalam bidang yang ditekuninya, misalnya dibidang kesenian, bisnis, keilmuan, dan kepemimpinan. Ketiga bidang terakhir yang merupakan posisi penelitian ini.
Ketiga, dimensi proses dan kreativitas atau proses kreatif, melibatkan pertanyaan, “Bagaimanakah seseorang dapat sampai kepada suatu produk kreatif?”, proses apakah yang dilaluinya?, tahap-.tahap apakah pula yang dialaminya Tipe studi ini menganggap bahwa kreativitas bukanlah semata-mata perilaku yang muncul dengan tiba-tiba ataupun warisan biologis yang menjelma secara temporal cialam kehidupan seseoran, melainkan suatu proses interaksi yang kompleks antar berbagal unsur dan dalam diri manusia (kondisi fisik, biogenetik, bakat, kemampuan kognitif, pengalaman, minat, emosi, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan) dan lingkungannya baik secara horisontal maupun developmental.[8]
lnteraksi secara horisontal artinya proses kreatif itu terjadi dalam suatu ruang dan kurun waktu tertentu melibatkan proses-proses persepsi, intermalisasi, interpretasi, imaginasi, ekspresi, proyeksi, dan aktualisasi. Secara developmental artinya proses kreatif itu merupakan interaksi kompleks dan tahapan kematangan pertumbuhan berbagai fungsi dan tugas-tugas perkembangan seseorang dalam berbagai aspek biologis, intelektual, emosional, dan moral Berbagai teori dan hasil penelitian mengenal proses kreatif beserta tahap-tahapnya telah dikemukakan, misalnya oleh WaIlas (1926), Pames (1972), GhiseIin (1955), Rossman (1931), Osbom (1953), Taylor (1959), Stein (1967), 1974), dan Devito (1971).
Diantara tahap-tahap proses kreatif yang paling terkenal dan secara luas diterima ialah yang dikemukakan oleh Wallas, meliputi
(1) tahap persiapan, yang mengacu kepada kondisi kemampuan, bakat, minat, dan akumulasi pengalaman seseorang sebagai prasyarat dan proses kreatif
(2) inkubasi, yaitu tahap dimana berbagai informasi, pengalaman, gagasan mengalami pengendapan dan pengeraman;
(3) iluminasi yaitu tahap dimana seseorang mengalami semacam pencerahan, suatu kesadaran baru, disebut pengalaman “Aha” dalam menemukan gagasan baru; dan
(4) verifikasi, yaitu tahap menguji gagasan kreatif.
Keempat , Studi yang berfokus pada pendorong kreativitas. Mengapa orang kreatif melakukan sesuatu?; motivasi apakah yang mendorong mereka untuk melakukan apa yang dilakukannya? Pertanyaan ini menyangkut dimensi proses dan kreativitas. Dorongan tersebut bisa datang dan dalam dirinya (motivasi intrinsik atau dan luar dirinya (motivasi ekstrinsik). Dorongan yang menjadi sumber motivas kreatif bukan hanya terletak di belakang atau di samping individu, melainkan juga di depan, yaitu dimensi teologis dan the creative act. Utami munandar (1977:26) membedakan dua pandangan berbeda mengenai motivasi kreativitas, yaitu yang berorientasi negatif, yang menganggap bahwa perilaku kreatif bersumber dan impuls-impuls yang tidak dapat diterima dan tersembunyi, dan yang berorientasi positif yang menganggap bahwa kreativitas sebagai hasil alamiah dan realisasi dan ekspresi potensi manusia yang tertinggi. Pandangan yang pertama muncul dan kalangan psikoanalitik[9] Sedangkan yang terakhir dimunculkan oleh kaum humanistik.[10] Yang terakhir ini antara lain mengemukakan bahwa aktualisasi diri tergantung kepada kondisi: keterbukaan, kebebasan, keberanian, spontanitas, keaslian, penilaian dari dalam, serta kemampuan memainkan beragam unsur, gagasan, dan konsep-konsep.
Dimensi kelima, yaitu tempat (place), melibatkan pertanyaan, “Dimanakah individu menampilkan kreativitasnya; dalam lingkungan bagaimanakah Ia hidup dan berkembang, sehingga menjadi orang kreatif Melalui pertanyaan ini, para peneliti mengungkap faktor-faktor Iingkungan yang mempengaruhi perkembangan kreativitas individu. Lingkungan meliputi lingkungan fisik, geografis, sosial-budaya dan spiritual, serta suasana jaman, merupakan sumber yang melahirkan kreativitas. Seseorang akan menjadi lebih kreatif dalam mengatasi setiap masalah pemenuhan kebutuhan hidup apabila dihadapkan pada kondisi dan suasana lingkungan yang menantang (Arieti, 1976). Dan penelitiannya yang intensif Simonton (1975-1978) menemukan sekurang-kurangnya tujuh ciri lingkungan sosial budaya yang memunculkan kreativitas individual, yaitu :
(1) keterdidikan secara formal,
(2) ketersediaan model peran,
(3) suasana dan semangat jaman,
(4) fragmentasi politis. Pada intinya, Iingkungan dan semangat jaman itu memuat kondisi yang merubah individu, sekaligus memberi kesempatan kebebasan dan rasa aman untuk mewujudkan perilaku kreatifnya (Dedi Supriadi, 1989).[11]
F. Pengelolaan dan Pengembangan Kreativitas dalam prilaku organisasi pendidikan.
Dalam perilaku Organisasi Pendidikan Kreativitas sering muncul karena termotivasi oleh kebutuhan individu maupun kelompok dalam menemukan solusi karena terbatasnya sumber daya yang dimiliki . Bukti yang menunjukkan hal tersebut diantaranya adalah kreativitas orang-orang jepang yang telah diakul secara luas dalam mengembangkan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi secara berkualitas. Dalam organisasi bisnis kreativitas sangat erat hubungannya dengan produktivitas dan keberhasilan yang bersifat kompetetif. Evans (1990:6-7) menegaskan dalam upaya meningkatkan produktivitas organisasi, maka pengembangan kreativitas difokuskan pada pengembangan karakteristik kreativitas melalui latihan dan praktik dalam kehidupan organisasi. Ia menyatakan bahwa: “the enhancement of creativity is often focused on developing the characteristics through exercises and practice’.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pengembangan kreativitas dapat dilakukan melaui beragam perigalaman dalam kehidupan sehari-hari, dengan memfokuskan pada peningkatan sifat-sifat individual yang mendukung perilaku kreatif seperti percaya diri, inisiatif, dan potensi kepemimpinan, serta menghilangkan hambatan kreativitas yang muncul clalam Kehidupan organisasi Puccio (2002:3) mengajukan argumentasi mengenal perlunya kajian terhadap gaya kreativitas hubungannya dengan pengembangan kreativitas sebagai berikut:
(1) mengkaji gaya berpikir kognitif yang dihubungkan dengan kneativitas akan menemukan teknik pengembarigan kreatiVitaS terbaik untuk tipe seseorang dalam suasana tertentu,
(2) memahami gaya kreativitas akan membantu individu menghargai perbedaan dalam penyelesaian masalah,
(3) memahami gaya kreativitas sangat perting untuk mereka yang berada dalam kelompok kreativitas.
Sinamo membantu individu dan organisasi untuk menghadapi perubahan yang cepat di awal abad 21. Menawarkan gagasannya tentang “The Seven Tools of Creative Thinking” (STCT), sebagai perolehan pengalamannya sendiri dan hasil analisis para teknisi dan pakar kreativitas : Edward de Beno, Dale Camegie, Joice Wycoff, dan Joel A. Barker. The STCT merupakan cara-cara sistematik dan praktis yang sengaja dan sadar digunakan untuk merangsang pikiran dan mencapai hasil kreativitas tertentu.
The SCTC atau Tujuh Teknik Berpikir Kreatif, diuraikan secara rinci sebagai berikut:
(1) Tini dan modifikasi, yaitu teknik yang pada dasarnya pemfokusan pikiran kita pada produk atau gagasan yang telah ada sebagai acuan untuk selanjutnya ditiru dan dimodfikasi sehingga dapat menghasilkan produk atau gagasan baru;
(2) Langgar dan Hilangkan, yaitu teknik yang mengajak kita untuk mengamati aturan, batasan. Dan isi dan sebuah produk atau gagasan untuk selanjutnya dilanggar bahkan dihilangkan sebagian atau seutuhnya sehingga mendapatkan produk baru;
(3) Gugat dan Provokasi, yaitu teknik yang mengasumsikan bahwa tidak ada sebuah konsep, teori, atau produk yang sempuma sehingga perlu digugat dan dipropokasi untuk memperoleh bentuk yang lebih baru atau Iebih baik;
(4) Lihat dan arah sebaiknya, yaitu teknik yang mengajak kita untuk melihat sebuah masalah dan sudut pandang yang berbeda 180 derajat. Dengan cara melihat seperti itu pikiran kita akan selalu dapat menghasilkan gagasan baru yang kreatif;
(5) Gunakan Tamsil (ibarat atau metapora), yaitu teknik yang digunakan sebagai jembatan untuk memahami karakter persoalan yang sedang dibahas. Misalnya Stephen Covey dengan tamsil “Angsa Bertelur Emas” berhasil menampilkan konsep efektivitas personal, interpersonal, dan organisasional secara gemilang dan populer;
(6) Ganti Paradigma, yaitu teknik yang mengajak kita untuk memahami sebuah persoalan secara total berbeda, Misalnya perusahaan jam Rolex bukan hanya menggunakan lama sebagai sebuah alat penunjuk waktu namun juga dengan paradigma baru dianggap sebagai perhiasan mahal lambang keberhasilan dan simbol status;
(7) Gabungkan secara Sinergistik, yaitu teknik yang menggabungkan beberapa gagasan menjadi gagasan yang Iebih besar, atau beberapa produk menjadi produk baru yang lebih bermulti guna. Misalnya Internet sebagai salah satu produk dengan prinsip konvergensi dan gabungan sinergistik antar komputer, telekomunikasi, dan perdagangan.
Berbicara tentang kreativitas dalam perilaku organisasi pendidikan, maka sudah barang tentu harus memahami terlebih dahulu konsep organisasi itu sendiri. Organisasi selama ini dapat dipandang dan berbagai perspektif. Oleh karena itu, hasil kajian terhadap dimensi dan karakteristik organisasi akan sangat tergantung pada latar belakang dan interest dan para pelaku penelitian mengenai organsasi tersebut (Satori, 2002:1).
Namun demikian muncul fakta yang merupakan kesepakatan bahwa pada umumnya organisasi dibangun sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan khusus untuk memperoleh manfaat bersama yang dapat dicapai secara Iebih baik melalui tindakan kolektif anggota organisasi.
Organisasi menurut pendekatan obyektif dipandang sebagai suatu identitas sosial yang bersifat fisik dan konkrit, dan merupakan sebuah struktur dengari batas-batas yang pasti. Sedangkan menurut pendekatan subyektif dipandang sebagai kegiatan yang dilakukan orang-orang terdiri dari tindakan-tindakan, literaksi, dan transaksi yang melibatkan orang-orang tersebut (Wayne Pace dalam Deddy Mulyana, 1998:11).
Sebagai suatu identitas yang berfungsi dengan cara-cara tertentu, organisasi dihadapkan pada persoalan mengenai strategi apa yang harus dilakukan agar ia dapat beradaptasi dengan cara terbaik terhadap Iingkungan untuk mampu mempertahankan mengembangkan diri dan keberlanjutan hidupnya.
Sedangkan berdasarkan pendekatan subyektif, dinyatakan bahwa kekuatan dominan dalam organisasi adalah perilaku dan tindakan spesifik orang-orang Meskipun mengakui struktur sebagaimana pendekatan obyektif, namun tekanannya adalah pada perilaku manusia.
Apabila kita lihat kembali pandangan organisasi menurut kedua pendekatan di atas, maka beberapa ciri organisasi dapat dikenal dan beberapa hal sebagai berikut:
(1) merupakan identitas atau institusi sosial yang dibangun oleh sekelompok orang dengan pola interaksi yang mapan,
(2) dikembangkan untuk mencapai tujuan yang spesifik, sehingga organisasi merupakan kreasi masyarakat yang memerlukan aturan dan kerja sama,
(3) Secara sadar organisasi dikoordiriasikan dan secara sengaja dibuat secara terstruktur, sehingga aktivitas dalam organisasi dibedakan berdasarkan pola yang logis,
(4) Merupakan instrumen sosial yang memiliki batasan yang relatif dapat diidentifikasi serta berada pada basis yang relatif terus menerus (Satori, 2002:1).
Perilaku organisasi dibangun oleh ketiga diterimannya, yaitu individu, kelompok, dan struktur. Mempelajari perilaku organisasi bertujuan untuk memperbaiki efektivitas dan meningkatkan produktivitas organisasi dengan mengurangi tingkat kemangkiran dan tingkat keluarannya anggota organisasi serta meningkatkan kepuasan kerja (Robbin, terjemahan. 1996:9). Sedangkan Cuminings dalam Luthans (1981:5) menyatakan bahwa “Organizational behavior is a way of thinking a way of conceiving problems and articulating research and action solutions. Organizational behavior is directly concemed with the understanding, prediction, and control of human behavior in organizations”. Jadi kajian terhadap peritaku organisasi difokuskan pada individu dan kelompok dalam interaksi mencapai tujuan organisasi secara efisien dan produktif.
Dalam interaksi antara anggota organisasi yang mempengaruhi tercapainya tujuan organisasi, ada empat hal yang memiliki perbedaan individual, yaitu:
(1) kebiasaan kerja, meliputi ketepatan waktu menyelesaikan tugas, hati nurani dalam melaksanakan kerja yang berkualitas, kerja sama, dan kemampuan menangani situasi yang penuh stress,
(2) tingkat motivasi dan derajat upaya yang dilakukan,
(3) kreativitas dalam melaksanakan tugas, dan
(4) persepsi tentang hal yang penting dalam melaksanakan tugas, meliputi: keamanan, pengakuan, progress, dukungan sosial, tugas kerja yang menantang, dan kesediaan untuk keria lembur (Robbins, 1999:32).
Nilai-nilai dan karakter organisasi dibangun oleh tiga nilai dan karakter yang membangun organisasi, yaitu: bereucracy values, individual values, profesional values. Pada organisasi pendidikan, nilai dan karakter organisasi akan berbeda dengan organisasi lainnya, meskipun prinsip-prinsip yang terjadi dan berkembang dalam organisasi lainnya, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya berlaku sama. Perilaku organisasi sebenamya dimaksudkan untuk melakukan efektivitas manajemen SDM datam organisasi (Cuminings, 1981:660).
Apabila kreativitas dalam melaksanakan tugas diantara anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya, maka tugas pimpinan organisasi untuk mengenali, memahami, dan mengembangkan tingkat kreativitas anggota organisasi sesuai dengan kapasitasnya. Dengan mengenali gaya kreativitas anggota organisasi pimpinan dapat melakukan upaya yang maksimal dan optimal dalam pengembangan kreativitas anggotanya. Cara yang ditempuh oleh pimpinan organisasi, termasuk organisasi pendidikan seyogyanya diawali dengan menciptakan kondisi yang mendukung atau faktor positif, dan menghilangkan faktor negatif yang memungkinkan untuk eksis dalam organisasi. Dengan kondisi dan realitas dunia dan lingkungan yang terus berubah, organisasi pendidikan dan anggotanya dituntut untuk melakukan perubahan yang dinamis, apalagi bila mereka harus melakukan kinerja pada tingkat yang bersifat kompetitif. Pelaku organisasi pendidikan
Memiliki karakteristik tersendiri karena nilai organisasi yang dianutnya. Pada tataran manapun organisasi pendidikan berada (makro, meso, atau mikro) kesemuanya memerlukan perubahan yang disesuaikan dengan karakteristik dan nilai yang dianutnya. Keith dan Girling (1991:2) menyatakan bahwa “organizations and organizational system just like people exist in time and space, and they change in terms of their characteristics over time”. Peran manajer atau pimpinan sangat menentukan dalam menghadapi perubahan di era global yang sudah kita masuki di awal abad 21. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kreativitas dipersepsi oleh masyarakat diberbagai segmen sebagai hal yang harus menjadi prioritas untuk melaksanakan kepemimpinan efektif pada era global mendatang. Evans (1991:5) mengangkat temuannya mengenal hat tersebut sebagai berikut:
“Attention by educational and business communities to the development of creative potential and problem soving talents needs to accelerate. Individuals benefit in the form of more satisfiying,. productive, entrepreneurial lives. Groups and organizations discover creative teamwork. States and nations can likewise move from absolute naslonalism to an awareness of the interconnectedness of the global family and the need to practice the arts and strategies of creative Ieadership. Mencermati pernyataan di atas, manager organisasi harus menjadi agen perubahan primer dengan berbagai keputusan kreatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam organisasinya.
Robbins (1990:345) menegaskan bahwa dengan keputusan yang mereka ambil dan perilaku model sebagai agen perubahan yang kreatif, manajer akan membentuk budaya perubahan dalam organisasi. Hal tersebut juga akan menentukan tingkat inovasi di dalam organisasi, dan menentukan sajauh mana anggota mempelajari dan menyesuaikan diri dengan faktor Iingkungan yang berubah. Bagi pimpinan organisasi pendidikan, diperlukan perspektif baru dalam melaksanakan kepemimpinannya seiiring dengan terjadinya perubahan dengan menjadi model yang menggunakan cara-cara kreatif dalam penyelesaian masalah dalam organisasi yang dipimpinnya 2.5.1.3 Kriteria, Pendekatan Teori, dan Rumusan Kreativitas yang menjadi acuan penelitian Masalah kriteria sangat penting dalam studi kreativitas. Beberapa pertanyaan yang terlibat disini adalah: bagaimana orang kreatif diidentjfikasi? Apakah yang menjadi ukuran bahwa seseorang Iebih kreatif danipJa yang Iainnya? Atas dasar apakah bahwa seseorang dikatakan sebagaj orang kreatif? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting, karena menentukan nilai dan arti seluruh hasil penelitian.
Shapiro (1968) bahkan menyatakan bahwa tanpa ada kejetasan mengenai kriteria kreativitas, seluruh penelitian tentang kreativitas patut diragukan keabsahannya. Upaya untuk menentukan kriteria kreativitas dapat dilacak pada tiga dimensi kreativitas, yaitu dimensi proses, person, dan prodik kreatif
(Amabile, 1983). Dengan menggunakan proses kreatif sebagai kriteria kreativitas, maka segala produk yang dihasilkan dan proses tersebut dianggap sebagai produk kreatif. Tetapi ada keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah bahwa sesuatu yang dihasilkan dan proses berpikir kreatif, tidak selalu dengan sendirinya dapat disebut sebagai produk kreatif. Kritena ini dianggap kurang menyentuh isu yang inti, juga terlalu internal dan ilusive sifatnya. Dalam berbagal studi (misalnya Ghisen, 1955; Rompel dan Taylor, 1964), proses kreatif ebih ditempatkan sebagai salah satu aspek dan orang kreatif, dan bukan kriteria yang berdirii sendiri.
Dimensi person; Amabile (1983) menunjuk behwa pengertian person sebagi kriteria kreativitas identik dengan apa yang oleh Guilford (1950) disebut creativity personality, yaitu uthe patterns of traits that are charactristics of creative person”. Kepribadian kreatif menurut Guilford meliputi dimensi kognitif (yaitu bakat) dan dimensi nonkognitif (yaitu minat, sikap, dan kualitas temperamental). Dalam perspektif ini, orang-orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang secara signifikan berbeda dengan orang-orang yang kurang kreatif.
Karakteristik-karaktenstlk kepribadian ini, yang diangkat dan berbagai hasil penelitian, menjadi kriteria untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif. Dengan kata lain, orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki oleh orang-orang kreatif, dengan sendirinya adalah orang kreatif. Kriteria ini banyak digunakan dalam penelitian kreativitas. Prosedur identifikasi orang-orang kreatif berdasarkan ciri-ciri kepribadian yang dimilikinya, biasanya dilakukan melalul teknik self-report, nominasi dan penelalan oleh teman sebaya, rekan sejawat atasan, atau baruahan dengan menggunakan pertimbangan subyektif. Kriteria ketiga ialah produk kreatif, yang menunjuk pada hasil perbuatan, performance, atau karya seseorang dalamm bentuk barang atau gagasan. Kriteria ini dipandang sebagai yang paling eksplisit untuk menentukan kreativitas seseorang, sehingga disebut sebagai kriteria puncak (the ultimate criteria) bagi kreativitas (Amabile, 1983).
Dalam operasi penilaiannya, proses identifikasi kreativitas berdasarkan produk dapat dilakukan melalul analisis obyektif terhadap produk, pertimbangan subyektif oleh peneliti atau panel ahli, dan metalui tes kreativitas Dedi Supriadi, (1989:57). Penilaian kreativitas dapat dilakukan melalul tiga macam pendekatan, yaitu
(1) analisis obyektif terhadap produk kreatif;
(2) pertimbangan subyektif; dan
(3) tes kreativitas.
Analisis obyektif terhadap produk kreatif dimaksudkan untuk menilai secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya kreatif lain yang dapat diobservasi wujud fisiknya. Simonton (1980) berhasa menerapkan pendekatan ini dalam studinya terhadap kreativitas dalam karya-karya musik klasik, berdasarkan orisinalitasnya. Tetapi karena terlalu kompleks, metode ini jarang sekali digunakan, meskipun sebenarnya dapat dilakukan untuk beberapa bidang kegiatan kreatif (Dedi Supriadi, 1989:59-60).
Pendekatan kedua dalam menilai kreativitas ialah melalui pertimbangan subyektif (subjective judgment), yang diarahkan kepada orang atau produk kreatif. Pertimbangan subyektif digunakan dengan cara meminta sekelompok pakar untuk menilai kreativitas orang-orang tertentu yang sesuai dengan bidangnya (Dedi Supriadi, 1989:61).
Ane Roe (1952) meminta sekelompok pakar dan setiap bidang guna meniali kreativitas rekan-rekan sepropesinya. Sejuiniah studi lain yang diihtisarkan oleh Amabile (1983) menggunakan pertimbangan autorized obsevers, guru, orang tua, dan teman sebaya untuk meniali krativitas seseorang. Penilaian terhadap kreativitas dengan menggunakan tes kreativitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori menurut aspek yang diungkapkannya yaitu tes kepribadian, inventon biografis, dan tes keprilakuan (Amabile, 1983).
Kaitan antara kriteria kreativitas dengan penilaiannya, dilukiskan dalam tabel berikut ini:
Pendekatan | Kriteria produk | Kriteria person | Kriteria proses |
1. Analisis 2. Pertimbangan subyektif 3. Tes kreativitas | v v | v v | v |
v) Dapat ditempuh dalam penelitian
Tanpa mengabaikan kelemahannya, pertimbangan subyektif digunakan dalam penelitian ini. Konsep kreativitas dalam peneiitian ini juga didefinisikan sebagai the capability to view a problem and propose altematives In perspectives and methodes that are unIque and unlike any pdor attempts to solve similar problems” (Brewer dan de Leon, 1983:62).
Jadi kreativitas harus kita fahami sebagai suatu kesanggupan untuk melihat, mengenal dan memahami adanya sesuatu masalah, serta dilengkapi dengan kesanggupan untuk mengusulkan atau merumuskan alternatif-alternatif pemecahan yang cocok berikut metode-metodenya yang tepat. Alternatif dan metode pemecahan masalah yang dapat dirumuskan oleh seseorang pimpinan yang kreatif harus memiliki sifat unik”, jauh dan pola-pola umum yang mentradisi. Kesanggupan yang dapat digolongkan pada kniteria tindakan yang kreatif harus tumbuh tanpa menuntut syarat adanya pengalaman dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang hampir sama.
Karakteristik dan aspek kreativitas yang demikian inilah yang menempatkan kreativitas dan pimpinan sebagai faktor dinamis daram kehidupan organisasi. Sejalan dengan paparan di atas Sidney Pames dalam Evans (1990:34-36) mengemukakan unsur-unsur kreativitas yaitu ;
(1) sensitivitas (sensitifity), adalah kesadaran dan persepsi untuk mengenali masalah dan menemukan solusinya;
(2) sinergi (synergy), merupakan pelaku total sistem yang tidak terprediksi oleh perilaku setiap komponennya atau kemampuan menentukan totalitas sistem dengan memadukan elemenen-elemennya;
(3) serendivitas (serendipity), merujuk pada kesadaran untuk menghubungkan kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, atau kemampuan menangkap esensi dan suatu kejadian yang terjadi secara kebetulan.
Merujuk pada meta teori kreativitas, serendipity dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menemukan yang tersirat atau menemukan keterangan yang tidak disengaja pada saat mencari sesuatu yang lain. Untuk menghasilkan output kreativitas, maka ketiga unsur atau elemen kreativitas di atas kesemuanya memerlukan perpaduan antara “divergent thinking the intellectual ability to think of many original, diverse, and elaborate ideas, dan “convergent thinking” the ability to logically evaluate, critique and choose the best idea from a selection of ideas. [12]
Unsur-unsur tersebut akan dikembangkan menjadi indikator variabel kreativitas pada penelitian ini. Sedangkan karakteristik kreativitas terlihat dan pernyataan para ahli sebagai berikut:
(1) kreativitas terlihat dalam sikap yang menuntut diciptakan suatu suasana, kondisi, cara kerja dan berbagal persyaratan yang lain atau berbeda dengan yang pernah ditemui atau dilaksanakan (Gibson, dalam Kusmana, 1989:148),
(2) untuk tumbuhnya kreativitas diperlukan syarat adanya uacainic excellence” karena tanpa ini kreativitas tdak akan muncul (Lehre, 1980:340),
(3) untuk dapat mengembangkan kreativitas perlu memiliki leadership yang kuat, karena leadership itu sendiri merupakan kekuatan moral yang kreatif. Seluruh kriteria tersebut telah melengkapi komponen-komponen bagi pengukuran kreativitas.
Hasil penelitian Semawan, Munandar, dan Munandar (1990:10-11) menghasilkan terdapà t beberapa ciri orang yang kreatif yaitu:
(1) mempunyai daya imajinasi yang kuat,
(2) mempunyai inisiatif,
(3) mempunyai minat yang luas,
(4) bebas dalam berpikir,
(5) bersifat ingin tahu,
(6) selalu ingin mendapat pengalaman-pengalaman baru,
(7) percaya pada diri sendiri,
(8) penuh semangat
(9) berani menanggung resiko,
(10) berani dalam pendapat dan keyakinan.
Berdasarkan ciri-ciri orang yang kreatif sebagaimana disebutkan pada kutipan di atas, jelaslah kiranya bahwa kreativitas tampak dan adanya suatu kemampuan untuk berbuat, berpikir dan bekerja tanpa harus menunggu perintah atau komando dan adanya keberanian menanggung resiko dati segala tindakannya.
Stewart (1993:470) mengemukakan karakteristik orang yang kreatif sebagai berikut secara aktif mencari dan lebih memilih kebebasan bertindak, relatif tidak memihak, seorang evaluator, kritis atas ide atau kondisi yang ada, sensitif terhadap permasatahan, peinikir yang divergen, komunikator yang baik, aktif memberikan presentasi, benar-benar mengetahui kemampuannya, bersedia mengambil resiko, menikmati pekerjaan, tanggap terhadap kesempatan, memiliki minat besar, dan sensitif terhadap kritik. Berdasarkan pendapat ini jelaslah bagi kita bahwa kreativitas merupakan kemampuan membuat kombinasi-kombinasi baru dan memberikan gagasan-gagasan baru yang diterapkan dalam pemecahan masalah sehingga memiliki pola pemikiran yang inovatif. Sehubungan dengan bervariasinya kriteria, pendekatan, dan ciri atau karakteristik kreativitas yang teiah dikemukakan di atas, penulis tidak menggunakan pendapat satu orang saja akan tetapi mencoba mengkombinasikan pendapat dan beberapa ahli. Dalam penelitian ini penulis menggunakan indikator-indikator tentang kreativitas pimpinan sebagai beikut:
(1) kesadaran mengenati masaah dan kesanggupan menemukan solusinya (sensitifitas),
(2) Kesanggupan mengemukakan ide atau gagasan,
(3) Sikap mandiri, percaya diri, dan kesediaan menanggung beresiko.
Dalam upaya mengembangkan kreativitas, setain mengenal unsuru nsur yang mendorong munculnya kreativitas, juga hams mengenal hambatan kreativitas. Analisis komprehensip mengenai penghambat kreativitas dikembangkan oleh James Adams dalam Couger (1 996:55-66) yaitu Perpetual, Emosional, Cultural, Enviromental, dan Intelectual.
Untuk mengembangkan kreativitas dengan efektif dan efisien perlu dikenali dengan baik kondisi-kondisi yang menjadi syarat dan dapat menunjang tumbuhnya kreativitas, itu hanya akan tumbuh dengan baik dalam keadaan dan kondisi tertentu. Banyak faktor yang membentuk kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan kreativitas ini. Faktor-faktor tersebut sering kali muncul sebagai sesuatu yang terpadu dimaria bila tidak hadir faktor tertentu, kreativitas tidak muncul dan berkembang.
Dalam upaya mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendukung berkembangnya kreativitas, kita dapat mengidentifikasi kondisi-kondisi yang mendukung lahirnya kreativitas sebagai berikut ;
(1) adanya tuntutan dan kebutuhan dan lingkungan PTS yang menghendaki dikembangkannya bentuk, struktur, pola, atau sistem baru untuk mengelola aktivitas akademik, adiministrasi umum, dan kemahasiswaan
(2) apabila PTS dipimpin oleh pimpinan yang memiliki bakat den semangat yang kuat untuk memahami dan menanggapi berbagai tantangan yang berkembang pada lembaganya dan mempunyai kepekaan yang prima dalam merespon kenyataan dan permasalahannya,
(3) adanya pertukaran informasi yang baik antar perguruan tinggi yang memungkinkan terjadinya pembuahan silang antar sistem pengelolaan aktivitas akademik, adiministrasi umum, dan kemahasiswaan sehingga terjadi dan berkembang sistem pengelolaan yang baru yang Iebih baik serta Iebih efektif,
(4) adanya faktor kebetulan dan keberuntungan yang memberikan peluang dan merangsang terwujudnya sesuatu ide baru bagi lahir dan berkembangnya bentuk, pola, struktur atau sistem pengelolaan yang efektif.
Tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan seseorang pimpinan dapat didorong oleh salah satu atau beberapa kondisi di atas. Kondisi dimana yang Iebih dominan dalam mendorong lahirnya sesuatu kreativitas sangat bergantung pada karakteristik dan rangsangan dan faktor-faktor yang kita perhatikan, serta kejelian dan pimpinan yang mengamatinya Kreativitas dapat dipandang sebagai produk dan sebagai proses.
Kreativitas sebagai proses adalah kemampuan mengidentifikasi banyak kemungkinan solusi pada persoalan tertentu (Vechjo, 1995:338), dalam Sudradjat (2000 : 46). Suatu proses yang bersifat imajinatif tidak konfensional, estesis, fleksibel, integrasi, informan dan proses sejenis (Srinthall, 1950:124), dalam Sudradjat (2000 : 46) Kreativitas sebagai produk berkaitan, dengan penemuan, suatu produksi yang baru dari pada akumulasi keterampilan atau berlatih pengetahuan dan mempelajari buku. Kreativitas berkaitan dengan apa yang ditambahkan orang bagi gudang pengetahuan (NinaIly, 1964:305).
Kreativitas sebagai produk atau respon yang dinilai kreatif oleh pengamat ahli. Dan beberapa pendapat mengenai definisi kreativitas di atas, banyak memiliki kesamaan pendapat sehingga ada enam asumsi mengenai kreativitas, seperti yang dikemukakan oleh Dedi Supriadi (1997 :16-17) sebagai berikut:
Pertama, setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti pendapat Devita diatas tadi bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang dengan tingkat yang berbeda-beda, setiap orang yang lahir dengan kreatif dengan potensi ini dikembangkan dan dipupuk.
Kedua, kreativitas diriyatakan dalam produk-produk kreatif baik dalam bentuk benda atau gagasan. Produk kreatif merupakan kriteria puncak untuk menilal tinggi atau rendahnya kreativitas seseorang. Tinggi atau rendah kualitas karya kreatif seseorang dapat dinilai berdasarkan orisinialitas atau kebaruan karya dan sumbangannya secara konstruktif bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban.
Ketiga, aktualisasi kreativitas merupakan hasil dan proses interaksi antara faktor- faktor psikologis (internal) dengan Iingkungan (eksternal), artinya kreativitas berkembang berkat serangkaian proses interaksi sosial, individu dengan potensi kreatifnya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh Iingkungan sosial budaya tempat lingkungan hidup.
Keempat, dalam diri seseorang dan Iingkungan terdapat faktor-faktor yang menunjang atau menghambat perkembangan kreativitas.
Kelima, kreativitas seseorang tidak berlangsung dalam kevakuman, melainkan didahului oleh hasil-hasil kreativitas orang-orang yang berkarya sebelumnya. Jadi kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan kombinasi-kombinasi baru dan hal yang telah ada sehingga melahirkan sesuatu yang baru.
keenam, karya kreatif tidak lahir kebetulan, melainkan melalui serangkaian proses kreatif yang menuntut kecakapan, keterampilan dan motivasi yang kuat.
G. Kriteria Kreativitas
Dalam penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga aspek yaitu dimensi proses, person dan produk kreatif (Amabile, 1983), dalam Dedi Supriadi (1997: 13). Dengan menggunakan proses kreatif sebagai kriteria kreativitas maka segala produk yang dihasilkan dari proses itu dianggap produk kreatif dan orangnya disebut kreatif.
Menurut Rathenberg (1976) dalam Dedi Supriadi (1997:14) proses kreatif identik dengan berpikir janusian (Janusian Thinking) yaitu suatu tipe berpikir divergen yang berusaha melihat berbagal dimensi yang beragam atau bahkan bertentangan menjadi suatu pemikiran baru. Dimensi person sebagai kriteria kreativitas menurut Amabile (1983) identik dengan yang dikemukakan oIeh Guilford (1950) dalam Dedi Supnadi (1997: 20) disebut kepribadian kreatif (creative personality) yaitu meliputi dimensi kognitif (bakat) dan dimensi non kognitif (minat, sikap, dan kualitas tempramental).
Kriteria ketiga ialah produk kreatif yang menunjuk hasil perbuatan, kinerja, atau karya seseorang dalam bentuk barang atau gagasan. Menurut Ghiselin (1963) dan Shapiro (1973) dalam Dedi Supriadi (1997:22) kriteria kreativitas dibedakan kedalam dua jenis :
- Pertama, Concurrent Criteria, yaitu kriteria berdasarkan produk kreatif yang ditampilkan seseorang selama hidupnya maupun dibatasi hanya ketika Ia menjelaskan suatu karya kreatif.
- Kedua, Cancurent Criteria yang didasarkan kepada konsep atau definisi kreativitas yang dijabarkan kedalam indikator-indikator kreativitas Menurut Guilford dalam Dedi Supriadi (1997: 7) mengemukakan ciri-ciri berpikir kreatif:
1) Kelancaran (nuency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan,
2) Keluwesan (nexibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah,
3) Keaslian (originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli.
4) Penguraian (Elaborasi) adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara rinci
5) Perumusan kembali (Redefinition) adalah kemampuan untuk meninjau sesuatu persoalan berdasarkan prespektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahul banyak orang.
Sementara itu menurut pendapat Munandar (1977) dalam Dedi Supriadi (1997 : 60), menyebutkan tujuh sikap kepercayaan dalam nilai-nilai yang melekat pada orang yang kreatif, yaitu :
1) Terbuka terhadap pengalaman baru dan luar biasa,
2) Luas dalam berpikir dan bertindak
3) Bebas dalam mengepresikan diri,
4) Dapat mengepresikan fantasi,
5) Berminat pada kegiatan kegiatan kreatif,
6) Percaya pada gagasan sendiri
H. Kompetensi
Perlu dipahami tenlebih dulu jenis-jenis kompetensi atau kemampuan dasar yang diperlukan bagi terciptanya kepemimpinan yang kompeten. Kompetensi itu sendiri merupakan suatu pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan atau pekerjaan. Kompetensi profesinal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kompetensi yang dihasilkan dari pembelajaran dalam pendidikan formal, dibedakan dengan kompetensi kepemimpinan yang dihasnkan dart pembelajaran Diklat kepemimpinan penjenjangan struktural Gambaran yang dikemukakan para ahli tentang kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh para pimpinan tidak ada yang sama rinciannya. Rumusan yang mereka utarakan sangat bergantung pada sisi pandang masing-masing dan pada pengutamaan tertentu sesuai dengan kepentingan pengkajian yang dilakukannya. Berkaitan dengan kompetensi individu, menurut Charles E. Johnson
(1974) dikutip dan Abin Syamsuddin (1996) kompetensi sebagai suatu penampilan yang rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan dengan penuh kesenangan. Dari batasan tersebut kompetensi adalah suatu penampilan spesifik yang rasional sebagai harmoni dan pemilihan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan oleh tugas pekerjaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan penuh keberhasilan Spencer and Spenser (1993; 9) meñdefinisikan kompetensi sebagai berikut “ A competency is an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion reference effective and or superior performance in a job or situation.”
Ini berarti bahwa kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang, yang menggunakan bagian kepribadiannya yang paling dalam dan dapat memprediksi perilakunya ketika ia menghadapi pekerjaan atau dalam situasi tertentu, yang akhirnya mempengaruhi kemampuan untuk menghasilkan kinerja. Kompetensi ini terbentuk dari semua karakteristik yaitu:
- motif (motive),
- watak (traits),
- konsep diri (seff concept),
- pengetahuan (knowledge),
- dan ketrampilan (skill)
Yang oleh Spencer & Spencer (1993; 11) digambarkan dalam gambar 2.13 sebagai berikut.
Gb.1. Peta Kompetensi Pusat dan Permukaan
Kompetensi ketrampilan dan pengetahuan cenderung dapat dilihat,karena berada di permukaan. Kedua kompetensi ini relatif mudah untuk dikembangkan inisialnya melakukan pengalaman atau pelatihan.
Sedangkan kompetensi konsep diri, watak, dan motif bersifat lebih sembunyi Iebih dalam dan berperan sebagai sumber kepribadian, Iebih sulit untuk nampak Konsep dikembangkan Uraian lebih lanjut masing-masing karakteristik kompetensi itu adalah sebagai berikut :
(1) Motif, merupakan gambaran diri seseorang tentang sesuatu yang dipikirkan atau yang diinginkan, dan merupakan dorongan untuk melakukan tindakan guna memenuhi keinginannya.
(2) Watak, merupakan karakteristik mental seseorang dan konsistensi, respon terhadap rangsangan tekanan, situasi, dan informasi Watak ini menentukan tingkat emosi seseorang dalam merespon rangsangan dan informasi.
(3) Konsep diri, merupakan gambaran seseorang tentang sikap, nilai-nilai dan bayangan diri terhadap pekerjaan, tugas atau jabatan yang dihadapinya untuk dapat diwujudkannya melalui kerja dan usahanya.
(4) Pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang terbentuk dari informasi, yang diterimanya Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang memprediks, apa yang dapat mereka lakukan, dan bukan apa yang akan mereka lakukan.
(5) Ketrampilan, adalah kemampuan seseorang untuk melakukan tugas fisik atau mental. Kompetensi motif, watak, dan konsep diri mempengaruhi tindakan perilaku ketrampilan yang pada gilirannya akan mempengaruhi outcome kinerja.
Karena itu, dalam kompetensi selalu ada filsafat, yaitu kekuatan motif dan watak yang menyebabkan terjadi tindakan yang menghasilkam Outcome Spenser dan Spenser (1993), mengemukan bahwa berkaitan dengan kompetensi, individu yang merupakan kompetensi seseorang yang digambarkan sebagai karakteristik dasar seorang pekerja yang menggunaka bagaimana kepribadiannya yang paling dalam dan dapat mempengaruhi perilakunya ketika Ia menghadapi pekerjaan yang akhirnya berpengaruh pada kemampuan untuk menghasilkan prestasi kerjanya. Kompetensi ini terbentuk dari Jamak karakteristik yaitu watak, motif, konsep diri, pengetahuan, dan keterampilan, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
(1) Motives (motif) merupakan gambaran diri seseorang tentang sesuatu yang dipikirkan atau yang diinginkannya, dan merupakan dorongan untuk mewujudkan cita-citanya atau memenuhi ambisinya ketika Ia menduduki jabatan atau posisi baru,
(2) Traits (watak) merupakan karakteristik mental seseorang dan konsistensi respon terhadap rangsangan, tekanan, situasi atau Informasi,
(3) Self concept (konsep diri) merupakan gambaran tentang nilai luhur, yang dijunjung tinggi seseorang, serta bayangan diri atau sikap terhadap masa depan ideal yang dicita-citakan, yang diharapkan dapat berwujud melalui kerja dan usahanya,
(4) Knowledge (pengetahuan) merupakan kemampuan seseorang yang terbentuk dan informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang kajian tersebut,
(5) Skill (keterampilan) merupakan kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan fisik atau mental. Berkaitan dengan implikasi kompetensi individu, Thomas O.Davenport (1999) mengemukakan bahwa competence adalah capacity for action yang merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja.
Selanjutnya Rosabet Kanter (1995) mengemukakan bahwa para Gambar 2.14 Konsep Kompetensi Individu (Sumber: Spenser and Spenser, 1993) pemain kunci dalam ekonomi global adalah kelompok yang memiliki kekayaan intangible assets yaitu: concept, competence, connection atau networking. Secara ringkas Kanter mengatakan bahwa siapa saja yang ingin bertahan dalam memasuki era global haruslah memiliki tiga kekayaan tadi. Sementara Peter Senge (1994), mengemukakann baik untuk organisasi bisnis maupun publik agar dapat bertahan hidup harus menjadi learning orpanizati yang mengacu pada perhatian menyeluruh terhadap kelima disiplin (fifth diciplin) yang mana anggota organisasi harus memiliki:
(1) system thinking, yaitu kemampuan berpikir secara sistemik, mencakup makna kemampuan untuk selalu berpikir dan bertindak dengan pendekatan yang menyeluruh dan mampu menimbang segala unsur yang saling berkaitan atau Sistemik,
(2) personal mastery, yaitu derajat kemampuan/keahlian kerja setiap anggota tim, mencakup makna semangat menemukan proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik dan sebelumnya serta derajat kemampuan atau keahlian kerja dan setiap anggota,
(3) share vision, yaitu kemampuan dan kemauan setiap anggota untuk menumbuhkan persamaan pandangan masa depan kemudian menumbuhkan kesadaran berkomitmen, mencakup makna adanya kesepakatan seluruh anggota tim untuk menjadikan proses berbagai kebiasaan kerja sehari-hari
(4) mental model, yaitu keselarasan nilai-nilai yang dianut antar anggota tim, mencakup makna adanya keserasian nilai-nilai yang dianut dalam menyikapi proses pembelajaran
(5) team learning, yaitu kemampuan dan kemauan untuk belajar dan bekerjasama dalam satu tim, mencakup makna derajat semangat seluruh anggota tim untuk saling berbagi pengetahuan dan sating mengajarkan berbagal cara, serta derajat kemampuan seluruh anggota tim untuk belajar dan bekerja sama sebagai satu kesatuan.
Berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki oleh Allan C. Omstein (1980; 50) mengartikan kompetensi sebagai bagian spesifik dan perilaku yang dapat jelaskan dengan pengelolaan yang diperlukan dalam suatu keseluruhan pengajaran yang manual atau dalam sistem pendidikan. Hartanto (1998) memberikan kajian pemahaman tentang kompetensi memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1) kompetensi intelektual, unsur ini terkait dengan kemampuan profesional seseorang yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan yang dianggap cerminan intelegensia yang dibangun melalui proses pendidikan, keterampilan yang biasanya dikaitkan dengan talenta dan dikembangkan melalui pelatihan, kemampuan (ability), yang biasanya dikaitkan dengan kemampuan fisik dan daya tahan seseorang didalam kegiatan kerja, pengalaman yang diperoleh melalui pengalaman kerja yang relevan dan pemahaman mendalam atas kondisi lingkungan bisnis dan kerja,
2) kompetensi jejaring kerja sama, kompetensi ini terbentuk dari hubungan kerja sama diantara organisasi, mitra kerja dan pihak lain yang berkepentingan, yang mau memberikan komitmennya untuk maju bersama dengan orang-orang yang memiliki jaringan tersebut,
3) kompetensi kredibilitas, kompetensi insan ini perlu dikembangkan secara berkesinambungan, karena organisasi didalam Iingkungan yang terus berubah.
Berdasarkan paparan konsep diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa kompetensi dapat dikemukakan merupakan karakter sikap, perilaku, atau kemauan serta kemampuan yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi situasi atau kondisi di tempat kerjanya yang terbentuk dari kombinasi antara watak, konsep diri, motif, pengetahuan serta ketrampilan
Pergeseran paradigma serta perubahan situasi dan kondisi tersebut menuntut adanya perubahan peran dan kualifikasi pemimpin dan kepemimpinan aparatur dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan layanan masyarakat, guna mewujudkan kepemerintahan yang baik (good govermance).
Tidak ada komentar: